Surplus Listrik di Tengah Upaya Menggenjot Energi Terbarukan

123RF.com/varijanta
Energi baru terbarukan atau EBT digadang-gadang menjadi salah satu opsi transisi energi yang berpotensi memulihkan ekonomi Indonesia pasca pandemi Covid-19.
12/10/2020, 16.54 WIB

Pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia saat ini semakin agresif. EBT digadang-gadang menjadi salah satu opsi transisi energi yang dapat memulihkan ekonomi pasca pandemi Covid-19.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan pemanfaatan energi bersih dapat meningkatkan perekonomian nasional. Lapangan kerja baru akan tercipta dan emisi karbon di negara ini berkurang. “EBT dapat menjadi strategi kita dalam mendorong pemulihan roda perekonomian nasional pasca pandemi Covid-19," kata dia dalam Launching Virtual The 9th Indo EBTKE ConEx 2020, Jumat (9/10).

Namun, pengembangan energi bersih masih lamban. Butuh upaya keras bagi pemerintah untuk mengejar target bauran EBT 23% di 2025. Apalagi total realisasinya baru mencapai 9,15%. Terdiri dari pembangkit listrik sebanyak 75%, sisanya nonpembangkit.

Di saat yang sama, konsumsi listrik pun melemah karena pandemi corona. Kementerian ESDM mencatat konsumsi listrik masyarakat secara nasional pada Juni 2020 turun 7,06% dibandingkan dengan Januari 2020. Sebanyak delapan provinsi mengalami penurunan lebih dari 5%, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini.

Direktur Aneka Energi baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Harris optimistis kondisi surplus listrik tidak akan berdampak jangka panjang. Konsumsi bakal kembali naik seiring pertumbuhan ekonomi. Pembangunan pembangkit listrik EBT dapat berjalan terus.

Kondisi surplus listrik, terutama terjadi di Jawa, bukan semata karena pandemi corona. Beberapa pembangkit dari program 35 ribu megawatt (MW) mulai beroperasi. “Saya tetap yakin, dengan kondisi surplus listrik ini, kita masih punya potensi di daerah lain untuk dikembangkan,” ucapnya.

PLN juga mempunyai rencana besar dalam pemanfaatan energi terbarukan. Tak tanggung-tanggung, perusahaan setrum negara itu berencana meningkatkan dua kali lipat pembangunan pembangkit EBT dalam lima tahun ke depan. "Kapasitas terpasang EBT saat ini baru mencapai 7,8 gigawatt. Kami akan double menjadi 16,3 gigawatt," kata Wakil Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo pada Rabu pekan lalu.

Pasokan listrik nasional sejauh ini masih didominasi oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil. PLN punya beberapa strategi untuk mendorong penggunaan EBT. Pertama, co-firing pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang telah beroperasi. Co-firing adalah mencampurkan bahan bakar olahan sebesar 5% dari total kebutuhan energi utam.

PLN sedang mengembangkannya di PLTU Paiton berkapasitas dua kali 400 megawatt (MW) memakai olahan serbuk kayu. Di PLTU Ketapang kapasitas dua kali 10 megawatt dan PLTU Tembilahan kapasitas dua kali tujuh megawatt menggunakan olahan cangkang sawit.

Kedua, program konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) menjadi pembangkit listrik tenaga biomassa. PLN mencatat terdapat 1,3 gigawatt yang dapat dikonversi.

Terakhir, pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung dengan memanfaatkan bendungan yang sudah ada. Salah satu contoh proyeknya ada di Cirata, Jawa Barat. PLN telah menandatangani kontrak jual-beli listrik (PPA) dengan konsorsium PT PJBI-Masdar. Total kapasitas PLTS Terapung ini 145 megawatt dan beroperasi pada 2021.

PLN juga menyiapkan infrastruktur untuk mendukung kehadiran kendaraan listrik dengan menghadirkan stasiun pengisian kendaraan listrik umum. “Pengembagan energi baru terbarukan bukan semata pemenuhan target pemerintah, tapi tanggung jawab kami,” kata Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini pada Juni lalu.

Ilustrasi energi baru terbarukan. Pembangkit tenaga angin. (U.S. Department of Energy)

Ada Komitmen, Implementasi EBT Masih Kurang

Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Dharma mengatakan kondisi surplus sekarang menjadi momen tepat untuk mengurangi pembangkit energi fosil yang kapasitasnya besar ketimbang EBT. Hal ini pun terjadi di banyak negara maju. “Kalau energi terbarukan yang dikurangi, enggak signifikan,” katanya kepada Katadata.co.id, hari ini.

Pemakaian co-firing dengan memanfaatkan biomassa dan sampah, menurut dia, sifatnya bukan jangka panjang karena tetap memakai PLTU. “Begitu pembangkitnya sudah tidak efisien, masa mau membangun yang sama. Sebaiknya digantikan pembangkit terbarukan saja,” ucapnya.

Terkait soal ambisi PLN menggenjot bauran energi, Surya Dharma mempertanyakan skenario yang akan dijalankan. "Menjadi pertanyaan kalau itu dilakukan oleh pihak ketiga atau produsen listrik swasta (IPP). Apakah akan ada kepastian pengembang pembangkit mendapat pengembalian investasi yang wajar?” kata dia.

EBT seharusnya dapat digunakan sebagai alat untuk memperbaiki ekonomi. Pengembangannya dapat secara langsung dimanfaatkan oleh masyarakat dan mencegah perubahan iklim. "Jangan dilihat jangka pendek kemudian menghentikan pengembangan pembangkit baru. Kalau mau dikurangi, ya yang fosil," ujarnya.

Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat pemerintah perlu melakukan optimalisasi rencana penambahan pembangkit energi terbarukan di Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN yang masih digodok.

Dalam RUPTL 2019-2028, pemerintah menargetkan pemakaian energi terbarukan meningkat menjadi sebesar 23,2% pada 2028 atau dua kali lipat dari 11,4% pada 2019. Untuk pembangkit listrik dari batu bara turun menjadi 54,45% pada 2028 dari 62,7% pada 2019. Demikian pula bahan bakar minyak atau BBM turun menjadi 0,4% dari sebelumnya 4%, seperti terlihat pada grafik Databoks berikut ini.

Sebagai langkah antisipasi, perlu pula program tambahan untuk menutupi kesenjangan antara target dan kemampuan PLN. Di sisi regulasi, pengesahan rancangan undang-undang (RUU) EBT dan penyusunan peraturan presiden atau Perpres energi terbarukan juga sedang ditunggu-tunggu banyak pihak.

“Saya lihat ada kemauan dan komitmen. Walaupun masih perlu dilihat lebih lanjut bagaimana kualitas dan implementasi kebijakan dan regulasinya," ujar Fabby.

Terkait komitmen PLN, Fabby mengatakan perusahaan harus mulai memprioritaskan pembangunan energi terbarukan untuk pertumbuhan bisnis dan keuangannya. Apalagi arahan Menteri ESDM pada awal tahun ini sudah jelas. PLTU, PLTGU, dan PLTD yang sudah berusia di atas 20 tahun dengan kapasitas 13 gigawatt akan diganti dengan pembangkit energi terbarukan.

PLN sudah merespon hal itu dengan program dedieselisasi pembangkit berkapasitas 2 gigawatt dengan pembangit ET sampai 2024. “"Ini yang perlu diimplementasikan segera," kata dia.

Ilustrasi pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS. (ANTARA FOTO/Kornelis Kaha)

Menggodok Aturan untuk Pengembangan EBT

Sebagai upaya untuk mempercepat proses transisi energi dan meningkatkan investasi, pemerintah dan DPR mengebut pembahasan RUU EBT. METI mengusulkan adanya badan pengelola yang bertanggung jawab mengatur sumber energi tersebut secara independen.

Badan tersebut dapat bertugas menyusun strategi implementasi energi terbarukan untuk mencapai kebutuhan energi nasional. Dalam menjalankan tugasnya, badan pengelola energi terbarukan atau BPET diharapkan dapat berkoordinasi dengan kementerian atau lembaga terkait, badan usaha milik negara (BUMN), BUMD, BUMDes, koperasi, swasta, maupun perorangan.

Kementerian ESDM juga sedang menyiapkan sejumlah kebijakan pendukung. Termasuk rancangan peraturan presiden atau Perpres yang mengatur pembelian energi listrik baru terbarukan oleh PLN.

"Yang kami tunggu tarif yang sesuai dengan keekonomian proyek. Harapannya, hal ini dapat diakomodir dalam peraturan presiden (Perpres)," ujar Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (APBI) Priyandaru Effendi beberapa waktu lalu.

Direktur Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ida Nuryatin Finahari menyebut penerbitan Perpres harga listrik EBT itu sebagai langkah mengakselerasi transisi dari energi fosil ke ramah lingkungan.

Beberapa insentif yang bakal diterima pelaku industri antara lain pembebasan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan barang mewah pada kegiatan impor. Insentif tambahan diberikan kepada sektor energi panas bumi atau geothermal, yakni keringanan pajak bumi dan bangunan.

Pemerintah juga membentuk pasar baru EBT melalui program energi terbarukan berbasis pengembangan industri (renewable energy based industrial development) dan ekonomi (renewable energy based on economic development).

Tujuan program itu adalah mempercepat pemakaian energi baru terbarukan di kawasan industri dan ekonomi khusus. “Dan mendukung pengembangan pengembangan ekonomi khusus di kawasan 3T, yaitu terpencil, terluar dan terdepan," kata Arifin.

Reporter: Verda Nano Setiawan