Mendorong Pembangkit Tenaga Surya Atap dengan Regulasi Baru

123rf.com/Martin Bergsma
Ilustrasi. Kementerian ESDM akan mengubah aturan PLTS Atap untuk menggenjot pemakaian pembangkit ramah lingkungan tersebut.
15/1/2021, 15.18 WIB
  • Kementerian ESDM bersama PLN sedang berdiskusi untuk mengubah skema pemotongan tagihan listrik pengguna PLTS Atap.
  • Selama ini konsumen enggan memakai pembangkit itu karena pemotongan tagihannya maksimal 65% dari listrik yang dihasilkan. 
  • Ada potensi konsumsi listrik dan pendapatan PLN tergerus dengan skema baru tersebut. 

Pasar pembangkit listrik tenaga surya atap alias PLTS Atap masih sepi peminat. Sebagai salah satu pengguna, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana tahu benar apa masalahnya.

Pemotongan tagihan listrik pengguna maksimal 65% dari total daya yang dihasilkan PLTS Atap menjadi penghambat utama. “Dulu awal saya pasang di rumah bisa 100% saya ambil. Sekarang, yang bisa saya ambil hanya 65%,” kata Dadan dalam konferensi pers virtual, Kamis (14/1). 

Kementerian ESDM sedang menggodok skema baru untuk mengubah aturan itu. “Mungkin nanti angkanya di tengah-tengah 65% dan 100%,” ujarnya. 

Perbaikan regulasi ini menjadi penting karena sektor industri mulai memanfaatkannya. Misalnya, Coca Cola Amatil Indonesia yang telah membangun panel surya berkapasitas 7,2 megawatt (MW) di pabriknya, Cikarang Barat, Jawa Barat. Perusahaan, menurut Dadan, akan memasang lebih banyak lagi pembangkit serupa apabila regulasi telah diperbaiki. 

Pengguna lainnya adalah Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Selama tiga tahun ia telah memakai pembangkit energi baru terbarukan itu dengan kapasitas 3 kilowatt-peak (kWp). “Konsumsi listrik dari PLN berkurang sekitar 30% hingga 35% per bulan,” ucapnya. 

Berdasarkan survei pasar IESR, sebanyak 88% hingga 98% konsumen rumah tangga melihat skema pemotongan tagihan sebesar 65% mengurangi daya tarik PLTS Atap. Kondisinya dapat berubah apabila nilai transfer menjadi satu banding satu. Dengan begitu pengembalian investasi dapat lebih cepat. Dari awalnya sekitar 10 sampai 11 tahun, menjadi di bawah delapan tahun. 

Namun, Fabby mengatakan, ada faktor lain yang menghambat pemanfaatan pembangkit ini. Pertama, ketidakpastian pelanggan mendapatkan meter ekspor-impor dari PLN dalam jangka waktu kurang dua minggu setelah pembangkit terpasang. Kedua, minimnya ketersediaan informasi teknologi dan penyedia teknologi yang terpercaya.

Hamabatan pemakaian PLTS Atap, menurut Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) Yohanes Bambang Sumaryo, adalah regulasi pemerintah. Aturan ekspor-impornya yang tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 merugikan konsumen. 

Dalam Permen ESDM itu tercantum perhitungan nilai kilowatt per jam (kWh) ekspor-impor listrik dikali 65% atau 0,65. Artinya, 1 watt listrik yang dihasilkan PLTS Atap dapat mengurangi harga listrik PLN maksimal 0,65 watt di tagihan listrik bulan berikutnya. 

Kondisi ini berpengaruh terhadap pengguna PLTS on-grid alias yang terhubung PLN. Pasalnya, hampir 90% konsumen ini bergantung pada penyimpanan dari perusahaan setrum negara. “Kalau kelebihan energi, di meteran listrik bisa dianggap pemakaian, malah harus membayar sisanya,” ucap Sumaryo pada Desember lalu. 

Untuk mengatasi masalah itu, beberapa konsumen akhirnya ada yang memasang sistem off-grid. Tapi untuk melakukannya membutuhkan investasi besar, yaitu pembelian baterai untuk menyimpan listrik.  

Pemanfaatan PLTS Atap di Jakarta (ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA)

Revisi Aturan PLTS Atap Rugikan PLN?

Untuk mengubah aturan ekspor-impor tersebut, Kementerian ESDM sedang berdiskusi dengan PLN. Pemerintah sebetulnya telah melakukan perubahan aturannya sebanyak dua kali.

Yang pertama adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2019 tentang penggunaan sistem PLTS Atap oleh konsumen PLN. Aturan ini kemudian berubah menjadi Permen ESDM Nomor 13 Tahun 2019 dan Permen ESDM Nomor 16 Tahun 2019. 

Dadan optimistis kapasitas PLTS Atap tahun ini dapat mencapai 70 megawatt. Angkanya lebih tinggi dari realisasi tahun lalu yang hanya mencapai 13 megawatt. Kenaikannya didorong perbaikan regulasi. “Banyak orang akan tertarik memasangnya di rumah, atap pabrik dan industri,” ucapnya. 

Perubahan aturan tersebut tetap akan memperhatikan kelangsungan bisnis PLN. “Agar tidak ada kerugian,” kata Dadan. 

Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril mengatakan rencana pemerintah untuk merevisi aturan PLTS Atap bakal berdampak pada bisnis perusahaan. Dalam hal ini adalah penyerapan listrik yang diproduksi perusahaan setrum negara berpotensi berkurang. 

Angka 65% ditetapkan lantaran PLN harus menyediakan sarana dan biaya untuk menstabilkan sistem. Sifat PLTS adalah intermitten alias sumber energinya tidak tersedia terus-menerus selama 24 jam. Selain itu, dalam menyalurkan listrik, PLN membutuhkan jaringan yang harus dioperasikan dan dipelihara serta pengembalian modal. 

Dengan kondisi tersebut, badan usaha milik negara atau BUMN itu mengaku siap menjalankan kebijakan dan aturan pemerintah. “Tentu saja (perubahannya) akan sangat berpengaruh,” ujar Bob. 

Untuk saat ini, pemakaian PLTS Atap tidak akan berdampak signifikan ke PLN. Penggunanya adalah orang-orang berpenghasilan menengah ke atas yang populasinya tidak besar. Kantor-kantor yang memakainya juga belum cukup banyak.

Namun, dengan semakin murahnya teknologi pembangkit itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan memperkirakan dapat menjadi ancaman bagi PLN. “Saya kira agak sulit untuk mencegah ke depan. Apalagi kalau masyarakat kelas menengah sudah mulai paham manfaat PLTS Atap,” katanya.

Kementerian ESDM mencatat pemakaian PLTS Atap terus bertambah. Angkanya mencapai 2.346 pelanggan pada Juni 2020 dengan total kapasitas mencapai 11,5 Megawatt (MW), seperti terlihat pada grafik Databoks berikut ini.

Pemakai terbanyak ada di Jakarta. Jumlahnya mencapai 703 orang pelanggan. Di bawahnya adalah Jawa Barat dengan 656 pelanggan.

Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya berpendapat ada banyak cara lain untuk meningkatkan pemakaian PLTS Atap. Kantor-kantor pemerintah dapat diwajibkan untuk menggunakannya. 

Pemerintah dapat pula memberi insentif untuk perumahan menengah atas yang memasang panel surya. Lalu, bank-bank milik negara didorong memberikan kredit PLTS Atap. “PLN dapat juga memiliki unit bisnis atap surya,” katanya.  

Tak hanya pembangkit atap, pemerintah juga perlu menggenjot pemakaian ladang surya atau solar farm. Caranya dengan menaikkan prosi tenaga surya dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL). “Dan memberikan insentif bagi perusahaan dan industri yang memakai PLTS sendiri,” ucap Tata. 

PLTS Atap Danone-Aqua (Danone Indonesia)

Dana Subsidi Listrik Dialihkan untuk PLTS Atap

Pemerintah sedang menggodok program pengalihan dana subsidi listrik untuk membangun PLTS Atap. Langkah ini juga untuk menggenjot porsi bauran energi terbarukan.

Apabila terealisasi, pemerintah tidak perlu lagi memberikan tambahan subsidi listrik yang membebani keuangan negara selama ini. Pembangkit yang berasal dari dana tersebut diperuntukan bagi rumah-rumah pelanggan listrik bersubsidi.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Harris sebelumnya menyebut pemerintah tengah menyiapkan konsep guna merealisasikan rencana itu. “Kami mencoba menyisihkan atau memindahkan peruntukkan subsidi ke PLTS Atap,” katanya.

Upaya mengalihkan subsidi ini bukan perkara mudah. Programnya menyasar jumlah pelanggan listrik bersubsidi golongan 450 Volt Ampere (VA) yang mencapai 24 juta pelanggan. Belum lagi kelompok 900 Volt Ampere sebanyak 3 juta pelanggan.

Pemerintah harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR untuk melaksanakannya. Pembahasannya sejauh ini masih dalam Tataran konsep. 

Harris menampik kehadiran PLTS Atap bakal menggerus pendapatan PLN. Dari hasil hitungan timnya, porsi penetrasi pembangkit itu masih sangat kecil dibandingkan total pasar perusahaan.  

Reporter: Verda Nano Setiawan