Jurus Baru DEN untuk Kejar Target Bauran Energi

123rf.com/Leo Wolfert
Ilustrasi. Dewan Energi Nasional akan mengevaluasi rancangan umum energi nasional alias RUEN.
27/1/2021, 17.02 WIB

Misalnya, pertumbuhan ekonomi 7% yang realisasinya sudah pasti tak tercapai. Padahal, angka ini menjadi faktor penting untuk menghitung permintaan dan kebutuhan energi setiap sektor. 

Namun, evaluasi itu sebaiknya tidak mengurangi target energi terbarukan minimal 23% di 2025. “Karena RUEN mengikuti patokan kebijakan energi nasional atau KEN,” kata Fabby. 

Justru, menurut dia, pemakaian energi bersih harus meningkat sesuai komitmen Indonesia mencegah perubahan iklim dan melaksanakan Perjanjian Paris 2015. Pemakaian bahan bakar fosil perlu dikurangi karena berkontribusi besar dalam peningkatan emisi karbon di negara ini. 

Dengan menetapkan energi terbarukan tahun ini di 14,52%, artinya kontribusi dari pembangkit listrik paling tidak sebesar 17%. Sektor transportasi tidak bisa menjadi tumpuan karena pemerintah menunda pelaksanaan BBN atau biofuel 40 (B40). 

Peluang terbesar ada di sektor kelistrikan. “Menurut saya, pembangkit energi terbarukan harus bertambah dua gigawatt per tahun,” katanya. 

PLTU Suralaya (Arief Kamaludin|KATADATA)

Setop Gunakan Batu Bara

Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya berpendapat identifikasi masalah DEN sudah tepat. Asumsi makro ekonomi di dalamnya memang sudah tidak relevan. Namun, evaluasi untuk mengurangi target energi terbarukan merupakan langkah keliru. 

Seharusnya langkah prioritasnya adalah menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap dan menutup PLTU tua. “Jadi, ada ruang untuk EBT," kata Tata.

Merujuk pada pernyataan DEN, ia menjadi pesimistis, bahkan untuk mencapai target tidak ambisius, yaitu 23% di 2025. Ini menjadi sinyal buruk untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia.

Pemerintah perlu melakukan terobosan radikal. Apalagi, Presiden Joko Widodo dalam Climate Adaptation Summit pada 25 Januari lalu telah menyebut pentingnya mengatasi perubahan iklim yang berdampak ke petani dan nelayan. Kalau porsi energi terbarukan diturunkan dalam RUEN, kebijakan ini menjadi kontradiktif. 

Indonesia akan semakin tertinggal dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lain. Vietnam terus berekspansi pada bauran energi terbarukan, terutama matahari. Filipina sudah melakukan moratorium PLTU. Kemudian, Thailand dan Malaysia juga semakin maju dengan energi terbarukannya.

Pemanfaatan PLTS di negara ini baru sekitar 112 megawatt. Sedangkan Vietnam telah mencapai 4 gigawatt. “Padahal, lima tahun lalu posisinya masih sejajar,” kata Tata. 

Hanya kebijakan di level Presiden yang bisa melepaskan Indonesia dari posisi yang semakin terkunci dari PLTU batu bara saat ini. Sangat mungkin listrik kotor ini akan menjadi titik lemah Indonesia dalam menarik investasi hijau. "Bisnis hijau kok dilistriki batu bara," ujarnya.

Guru besar Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia Profesor Iwa Garniwa menilai bauran energi terbarukan pada 2025 sebesar 23% sulit dilaksanakan. Waktunya sudah dekat. Kesiapannya baru sebatas rencana. 

Perlu upaya besar untuk membangun sejumlah pembangkit EBT. ”Ada kesan pemerintah kadung janji sehingga berbagai cara dilakukan tanpa berpikir dampak teknis, ekonomis, sosial, dan lingkungan," ujarnya.

Padahal, tujuan membuat bauran energi adalah untuk kepentingan masyarakat. "Jadi kalau mau revisi ya sesuaikan dengan kebutuhan kita serta mengacu pada kearifan lokal," ucapnya.

Tidak hanya sekadar melihat dunia luar, contohnya melihat Tiongkok, Eropa dan beberapa negara tetangga yang pemanfaatan prosi bauran EBTnya lebih tinggi daripada Indonesia. "Kita langsung ingin ngebut tanpa berpikir dampaknya," ucapnya.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan