Bukan Baterai, Tesla Minati Investasi Penyimpanan Energi di Indonesia

ANTARA FOTO/REUTERS / Mike Blake/pras/dj
Ilustrasi. Tesla minati bisnis sistem penyimpanan energi di Indonesia.
10/2/2021, 15.20 WIB

Tesla disebut tertarik berinvestasi pada produk sistem penyimpanan energi atau energi storage system (ESS) di Indonesia. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan produsen mobil listrik asal Amerika Serikat itu lebih tertarik masuk bisnis tersebut ketimbang baterai

"Tesla berminatnya di energy storage bukan di baterai kendaraan listrik (EV),” kata Nicke dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII kemarin.

Bisnis ESS sangat menjanjikan seiring dengan dorongan pemerintah menggenjot pembangunan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS. Fungsi teknologi penyimpanan energi itu adalah menyimpan kelebihan atau cadangan listrik pada pembangkit. "Ini pasar yang besar. Pertamina pun masuk ke sana ke depannya," ujarnya.

Pertamina saat ini memiliki rencana membentuk holding baterai bernama Indonesia Battery Corporation atau IBC, bersama Indonesia Asahan Aluminium atau Inalum (MIND ID) dan PLN. Targetnya, induk usaha ini akan terbentuk pada semester pertama 2021.

Selain Tesla, dua perusahaan asing lainnya sudah menyatakan ketertarikannya masuk dalam proyek tersebut. Yang pertama adalah LG Energy Solution, spin off usaha dari LG Chem, asal Korea Selata. Lalu, ada pula produsen baterai asal Tiongkok, Contemporary Amperex Technology atau CATL

Potensi Bisnis ESS di Indonesia

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat keinginan Tesla tersebut cukup menarik. Artinya, perusahaan melihat pasar aplikasi baterai non-kendaraan listrik di Asia Tenggara prospektif.

Selama ini Tesla masuk ke bisnis ESS melalui merek Powerwall untuk rumah tangga dan Powerpack untuk kelistrikan. Perusahaan bentukan Elon Musk ini terus mengembangkan sistem penyimpanan energi sejak 15 tahun lalu. 

Powerwall merupakan baterai lithium-ion yang didesain untuk ditanam pada tembok rumah tangga. Baterainya akan memberikan sumber daya listrik mandiri kepada pengguna sehingga tidak perlu terhubung ke perusahaan penyedia listrik.

Sedangkan Powerpack merupakan teknologi baterai yang skalanya lebih besar untuk sistem kelistrikan. Tesla memiliki lini bisnis pembangkit surya atau PLTS. Nah, Powerpack berfungsi menjadi backup ketika energi matahari tidak ada di malam hari.

Fabby mengatakan pasar untuk Powerwall di Indonesia cukup besar karena dapat dikombinasikan untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap. Dari kajian IESR, potensi pembangkit ini di Jawa hingga Bali sekitar 2% dari pelanggan rumah tangga. "Selain itu, masih ada potensi pasar untuk bisnis skala kecil," ujarnya.

ESS biasanya dipakai untuk sistem off-grid kelistrikan alias di luar jaringan PLN. Teknologi ini cocok untuk daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T) yang memakai panel surya dan tenaga angin (PLTB). 

Kombinasi ESS pada pembangkit energi baru terbarukan (EBT) akan membuat investasi dan harga listriknya menjadi lebih murah ketimbang memakai bahan bakar minyak (BBM) ataupun gas. "Aplikasi lainnya adalah kombinasi panel surya atau pembangkit tenaga angin ditambah ESS untuk substitusi gas," ucapnya.

Dengan masuknya Tesla, harapannya harga sistem penyimpanan energi di Indonesia dapat lebih murah dan terjangkau. Kombinasi PLTS Atap dan teknologi penyimpanan energi dapat mempercepat disrupsi bisnis kelistrikan Tanah Air. "Manfaat buat negara, kita bisa ekspor ESS ke pasar Asia Tenggara dan Pasifik," kata Fabby.

Reporter: Verda Nano Setiawan