Percepatan Kendaraan Berbasis Baterai, Bagaimana Prospek Mobil Hybrid?

123RF.com/Supparsorn Wantarnagon
Ilustrasi. Pasar mobil hybrid di tengah percepatan kendaraan listrik berbasis baterai.
24/2/2021, 20.10 WIB
  • Penjualan mobil hybrid meningkat pesat di Uni Eropa selama pandemi Covid-19.
  • Transisi kendaraan ramah lingkungan di Indonesia dapat mulai dari mobil hybrid.
  • Perbaikan infrastruktur dapat mendorong pangsa pasar kendaraan listrik berbasis baterai.

Persaingan mobil listrik berbasis baterai di dunia sedang ketat. Tesla melaju kencang, begitu pula dengan pabrikan otomotif lainnya.

Namun, mobil berbahan bakar bensin dan listrik alias hybrid menolak mati. Pasarnya masih besar, terutama di Eropa Barat. Pabrikan Volkswagen alias VW memimpin di segmen pasar ini.

Melansir dari situs Asosiasi Produsen Mobil Eropa (ACEA), pada kuartal keempat 2020, sebanyak satu dari enam mobil penumpang di Uni Eropa adalah kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). 

Paket stimulus dari pemerintah di sana meningkatkan permintaan mobil ramah lingkungan itu. Uni Eropa juga sedang mengejar target menjadi kawasan bebas emisi karbon pada 2050. 

Secara keseluruhan pada tahun lalu, untuk pertama kalinya Uni Eropa berhasil menjual mobil listrik lebih dari satu juta unit. Rinciannya, mobil hybrid mencapai 1,182 juta unit. Lalu, mobil listrik berbasis baterai 1,045 juta unit. 

Pangsa pasar keduanya masing-masing naik menjadi lebih dari 10% di sana. Bahkan pada kuartal keempat tahun lalu, mobil hybrid mencatat kenaikan penjualan dua kali lipat atau 104,7% dari 212.612 unit pada 2019 menjadi 435.260 unit. 

Konsumen terbesar berada di Jerman. Kenaikan penjualan mobil listriknya mencapai 236,6% pada 2020 dibandingkan tahun sebelumnya. Lalu, kenaikan penjualan di Prancis mencapai 156,7% dan Italia 108,9%. 

Hasil analisis perusahaan konsultan Alix Partners menyebut VW menjual mobil listrik terbanyak dibandingkan Tesla pada 2020. Catatan itu menjadi rekor tersendiri untuk pabrikan asal Jerman tersebut. 

Merek grup Volkswagen, termasuk Porsche dan Audi, menjual 192 ribu unit mobil hybrid pada kuartal terakhir tahun lalu. Sedangkan Tesla dengan mobil listrik baterainya menjual sekitar 181 ribu unit. 

Direktur Pelaksana Alix Partners Nicolas Franzwa mengatakan pasar mobil listrik mengalami lonjakan permintaan. “Produsen mobil Jerman yang diuntungkan,” katanya, dikutip dari The Driven.

Dengan semua kondisi itu, Eropa sekarang mengambil alih posisi Tiongkok sebagai pasar mobil elektronik terbesar di dunia. Padahal, pada 2018 Negeri Panda masih menguasai produk ini, seperti terlihat pada grafik Databoks berikut.

Namun, Tesla masih dianggap produsen mobil terbersih karena menjual hanya kendaraan berbasis baterai. Sedangkan produsen otomotif besar dunia, seperti VW dan Toyota, masih bergantung dengan mobil hybrid yang menghasilkan emisi karbon.

Pabrikan mobil Jepang, Honda, baru-baru ini mengumumkan kendaraan hybrid terbarunya, yaitu HR-V. Mobil ramah lingkungan berjenis SUV (sport utility vehicle) tersebut akan dijual di Eropa dan Amerika Serikat.

Pada 2022, produsen otomotif Jerman, Mercedes-Benz, akan meluncurkan C-Class teranyar bermesin hybrid. Perusahaan menyebut mobil ini dapat menempuh jarak 100 kilometer hanya dengan listrik, tanpa bensin. 

Ilustrasi mobil hybrid keluaran Toyota.  (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Nasib Mobil Hybrid di Indonesia

Indonesia pun sedang bergerak menuju kendaraan rendah emisi karbon. Namun, akhir-akhir ini fokusnya adalah pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai. 

Hal ini pun sejalan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai untuk transportasi jalan. Percepatannya berada di bawah komando Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. 

Produsen baterai Contemporary Amperex Technology (CATL) asal Tiongkok dan LG Chem dari Korea Selatan sudah menyatakan komitmennya bergabung dengan bisnis besar baterai RI bernama Indonesia Battery Corporation. Kemenko Marives juga sedang bernegosiasi Tesla untuk masuk di dalamnya. 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan pengguna mobil listrik mencapai 2 juta unit dan motor listrik 13 juta unit pada 2030. Lantas, bagaimana nasib mobil hybrid di Tanah Air?

Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongki Sugiarto mengatakan peluang pasar mobil hybrid masih cukup besar. Perkembangannya akan sejalan dengan mobil full baterai. “Segemen pasar dan harganya cukup berbeda,” ucapnya.

Pangsa pasarnya akan naik seiring dengan pelonggaran pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor berdasarkan emisi yang berlaku pada Oktober 2021. Pemerintah sedang merevisi aturan pajaknya yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2019.

Sependapat dengan hal itu, Kepala Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah Redjalam pun menyebut pasar mobil hybrid masih menarik. Peluangnya besar karena ekosistem mobil listrik Tanah Air belum mendukung.

Contohnya, stasiun pengisian kendaraan listrik umum atau SPKLU yang belum tersebar merata. Di negara maju, tempat parkirnya telah tersedia fasilitas pengisian daya mobil listrik. “Jadi, dengan masih terbatasnya infrastruktur tersebut, memang lebih ideal mobil hybrid,” katanya.

Dalam proses transisi ke full mobil listrik, dia mengatakan agar mobil hybrid dikembangkan ke sistem plug-in. Mengingat jenis mobil ini lebih cocok dengan infrastruktur yang ada saat ini.

Pengisian daya mobil hybrid plug-in lebih sederhana. Pengguna dapat menyambungkannya ke sumber listrik eksternal. Sedangkan hybrid konvensional tidak dapat mengisi daya baterai dari jaringan listrik tapi pengereman regeneratif atau bensin di dalam tangki. 

Piter berharap pemerintah memberikan insentif bagi pengembangan mobil hybrid di Indonesia. Misalnya, diskon PPnBM untuk seluruh model mobil listrik, dari hybrid, hybrid plug-in, dan baterai. "Di sisi lain, mobil-mobil dengan emisi tinggi dikenakan pajak yang lebih besar," ucapnya.

Pabrikan mobil asal Jepang,Toyota, saat ini menguasai penjualan mobil dunia. Posisi di bawahnya adalah VW. Toyota masih mengandalkan mobil hybrid dalam transisi kendaraan masa depan.

Bahkan bos pabrikan itu tidak sepakat jika dunia otomotif langsung menuju ke kendaraan listrik. Pasalnya, infrastruktur yang diperlukan untuk mendukung armada kendaraan listrik akan menelan biaya 14 triliun hingga 37 triliun yen. Angka ini sekitar Rp 1.919 triliun hingga Rp 5.974 triliun dengan asumsi kurs Rp 137,14 per yen.

Hal ini pun membuat pengurangan emisi karbon menjadi tidak akan efektif karena sebagian besar listrik di negara itu memakai bahan bakar batu bara dan gas alam. “Semakin banyak EV yang kita buat, semakin buruk emisi karbondioksida,” kata Presiden Toyota Motor Corporation Akio Toyoda beberapa waktu lalu.

Pada akhir Desember tahun lalu, Toyota menyatakan bakal berinvestasi Rp 28 triliun untuk mengembangkan mobil listrik di Indonesia hingga tiga tahun ke depan. Komitmen ini diharapkan mampu mempercepat target produksi mobil listrik dalam negeri sebesar 25% pada 2025. Kerja sama tersebut di bawah restu Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 

Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, Toyota berkomitmen membangun industri mobil listrik Tanah Air. "Produk-produk mobil listrik yang akan diproduksi seperti hybrid, plug-in serta membangun satu jenis full electric vehicle yang rencananya diproduksi pada 2023," katanya.

Ilustrasi stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) milik PLN.  (ANTARA FOTO/Fauzan/hp.)

Hybrid Dulu, Baterai Kemudian?

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyarankan agar Indonesia menggunakan mobil jenis hybrid terlebih dahulu sebelum sepenuhnya bertransisi ke mobil listrik berbasis baterai. Setidaknya kedua jenis mobil ini tetap ada di pasar untuk memberikan pilihan kepada konsumen.

Pemerintah, menurut dia, dapat meniru Uni Eropa. Transisi kendaraan ramah lingkungannya mulai dari hybrid. Keuntungan dari proses transisi tersebut adalah konsumen memiliki lebih banyak pilihan dan persaingan usaha pun menjadi lebih sehat. “Minusnya, memperparah kemacetan di jalan,” katanya. 

Pengamat otomotif sekaligus akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu mengatakan percepatan pengembangan kendaraan listrik menjadi ajang terbuka para pelaku bisnis otomotif. 

Bahkan ini menjadi peluang kendaraan berbahan bakar nabati (BBN) alias biodiesel. “Nanti biar pasar yang menentukan mana yang lebih unggul untuk jangka pendek hingga panjang,” ujar Yannes. 

Untuk transportasi penumpang jarak dekat di dalam kota, ia memperkirakan, kendaraan listrik berbasis baterai yang mendominasi. Sedangkan, kendaraan angkutan berat terutama untuk area luar kota, dan medan berat, akan didominasi oleh kendaraan biodiesel. "Lalu, kendaraan hybrid akan tumbuh di area yang tidak solid dukungan infrastruktur dan grid kelistrikan wilayahnya," ucapnya.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan jika dirunut dalam lima tahun terakhir, upaya pemerintah untuk mendorong transmisi penggunaan kendaraan dari hybrid ke kendaraan listrik terlihat dari berbagai kebijakan pemerintah.

Salah satunya, beragam insentif PPnBM untuk barang mewah. Tujuannya, untuk mendorong pembelian mobil yang mempunyai gas karbon lebih sedikit, termasuk kendaraan listrik.

Apabila permintaan mobil listrik meningkat, produsen mobil hybrid akan beradaptasi. Bukan tidak mungkin mereka juga turut memproduksi kendaraan listrik berbasis baterai.

Hybrid masih menjadi pilihan utama saat ini di Indonesia ketimbang kendaraan berbasis baterai. “Karena infastrukturnya masih terbatas,” kata Yusuf.

Reporter: Verda Nano Setiawan