Jerat Bahan Bakar Fosil Membayangi Upaya Pengurangan Emisi

123RF.com/tomwang
Ilustrasi pembangkit listrik
3/3/2021, 15.58 WIB

Satya menyebutkan perubahan asumsi itu tidak akan membuat negara ini memakai energi bersih sepenuhnya. Pengembangannya akan menjadikan energi sebagai agen pertumbuhan, bukan lagi komoditas. 

Ada dua pola pengembangan yang pemerintah fokuskan. Pertama, pengembangan industri berbasis energi terbarukan atau renewable energy-based industri development. Kedua, energi terbarukan untuk pembangunan ekonomi atau renewable energy based on economic development

Untuk mengurangi emisi karbon, kebijakan pemerintah dapat diarahkan untuk pengelolaan bahan bakar fosil, misalnya batu bara, yang ramah lingkungan. Lalu, penerapan harga dan pajak karbon. “Jadi, membandingkan harga karbon dengan energi terbarukan menjadi adil,” kata Satya. 

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), realisasi penurunan emisi pada tahun lalu mencapai 64,4 juta ton karbon dioksida. Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 54,8 juta ton CO2, seperti terlihat pada Databoks di bawah ini.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat untuk mencapai target pengurangan emisi, maka pemerintah perlu melakukan langkah tegas. Salah satunya, dengan menghentikan operasional PLTU.

Menurut laporan Badan Energi Internasional atau IEA, jika ingin mencapai emisi gas rumah kaca 0 % di 2050, maka semua PLTU subcritical tidak lagi beroperasi. "Pada intinya, transisi energi perlu perencanaan persiapan karena ada dampak dan konsekuensi," kata dia dalam webinar Siapkah Indonesia Tanpa Energi Fosil, kemarin.

Sebanyak 70 % emisi karbon berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Di sektor pembangkit listrik, Indonesia masih didominasi oleh PLTU. Di sektor transportasi, bahan bakar minyak paling banyak digunakan.

Berdasarkan beberapa hasil studi, jika ingin membatasi temperatur dunia di bawah 2 derajat Celcius, maka dua per tiga bahan bakar fosil tidak bisa lagi dipakai. “Artinya, harus kurangi bahan bakar fosil, bahkan hidup tanpa bahan bakar fosil adalah keharusan, agar menyelamatkan bumi," ujar Fabby.

 
 
Ilustrasi pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU. (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Pemerintah Didorong Kurangi Bahan Bakar Fosil

Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya berpendapat krisis iklim di dunia sudah terjadi. Hal ini akan terus memburuk kalau Indonesia tidak melakukan transisi energi yang radikal. “Bauran energi terbarukan 23 % di 2025 itu jauh dari ambisius," kata Tata.

Yang juga penting adalah disiplin dalam implementasi. Target yang tidak ambisius pun tampaknya mustahil tercapai karena pengembangan energi terbarukan baru di kisaran 12 %. 

Secara operasional, pemerintah perlu melakukan moratorium pembangunan PLTU baru. Menurut dia, hal ini tidak akan berdampak ke ketahanan energi karena pasokan listrik sedang berlebih atau over supply.

Radikal, menurut Tata, artinya ada perubahan paradigma atau cara pandang, lalu diterjemahkan dalam target yang ambisius dan implementasi yang disiplin. "Kalau kita tidak radikal, dalam 10 sampai 20 tahun ke depan ketahanan energi kita dalam bahaya," ujarnya.

Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam mengatakan, Indonesia sesungguhnya sangat berpeluang untuk segera beralih ke energi bersih. Apalagi sumber energi terbarukannya melimpah.

Persoalannya, pembangunan pembangkit listrik EBT memerlukan biaya yang sangat besar. Di sisi lain, Indonesia telah menanamkan modal besar untuk pembangunan PLTU dengan memanfaatkan potensi batu bara dalam negeri. 

Karena itu, mengganti ekosistem yang sudah terbentuk tidaklah mudah. "Setidaknya memerlukan waktu agar investasi yang sudah tertanam tidak menjadi rugi," ujarnya.

Meskipun banyak kendala, upaya menuju energi bersih tetap harus dilakukan. Pemerintah secara bertahap dapat membangun berbagai pembangkit listrik memanfaatkan EBT.

Dengan memanfaatkan semua potensinya dengan maksimal, ketahanan energi di dalam negeri akan sangat kuat. "Energi bisa menjadi murah dan meningkatkan daya saing ekonomi," ujar Piter.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan