Pengadaan lahan untuk kebutuhan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS masih menjadi persoalan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan perlu kesepakatan atau aturan baru agar pembebasan tanah untuk proyek ini tidak mahal.
“Saat ini akuisisi lahan menjadi kendala. Pembangkit surya memang harus menggunakan lahan yang luas,” katanya dalam acara Katadata Future Energy Tech and Innovation Forum 2021, Senin (8/3).
Selain aturan, menurut dia, keterlibatan lintas sektor dalam mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) sangat penting. Misalnya, Kementerian Keuangan memberikan insentif untuk produk impor komponen PLTS.
Guna menggenjot iklim investasi pada energi bersih, pemerintah sedang menyiapkan rancangan peraturan presiden atau Perpres harga listrik energi terbarukan. Kehadiran aturan ini dapat membuat harganya jadi ekonomis.
Hingga kini Perpres tersebut tak kunjung terbit. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana sebelumnya mengatakan rancangan Perpres EBT masih dalam proses pemberian paraf dari beberapa menteri terkait di bawah koordinasi Kementerian Sekretariat Negara.
Dadan tak dapat memberikan kepastian kapan aturan itu terbit. "Ini masih berproses, saya tidak bisa menargetkan secara pasti," ujar Dadan.
Ia mengharapkan aturannya dapat segera terbit lantaran ditunggu calon pengembang dan juga PLN yang nantinya sebagai offtaker. Lewat Perpres, kedua pihak mendapat kepastian terkait harga jual beli listrik.
Harga Listrik PLTS Semakin Murah
PLN menyebut harga listrik dari energi matahari semakin murah dari tahun ke tahun. Apabila dibandingkan setrum dari pembangkit tenaga uap atau PLTU berbahan bakar batu bara, harganya kini jauh lebih rendah.
Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menyebut, satu dekade lalu perusahaan mengeluarkan US$ 30 sen per kilowatt hour (kWh) untuk PLTS tanpa baterai. Sedangkan listrik dari PLTU berkisar di angka US$ 5,5 sen per kilowatt hour.
Saat ini harga listrik PLTS tanpa baterai telah mendekati US$ 3,5 sen hingga US$ 3,6 sen per kilowatt hour. Dari PLTU, angkanya US$ 5,5 sen hingga US$ 6 sen per kWh.
Namun, untuk PLTS yang memakai baterai harganya belum ekonomis. “Masih lebih mahal US$ 12 sen sampai US$ 15 sen dibandingkan PLTU,” ujarnya pada Selasa lalu.
Inovasi akan terus berlanjut. Ia optimistis harga listrik dari energi terbarukan EBT dapat lebih murah. PLN juga memiliki program konversi pembangkit listrik tenaga diesel atau PLTD ke PLTS. Ada sekitar 5.200 unit pembangkit yang terletak di 2.130 lokasi seluruh Indonesia mengikuti program tersebut.
Konversi EBT dilakukan dengan menggunakan kerangka kearifan lokal, dan sumber energi yang tersedia di lokasi tersebut salah satunya adalah surya. Namun, ia menyadari jika pembangkit surya bersifat intermitten atau sumber energinya tidak selalu tersedia sepanjang hari.
Karena itu, pengembangan PLTS sebagai pengganti PLTD harus diimbangi dengan pembangunan storage atau baterai. Penyimpanan energi akan membuat pembangkit dapat memiliki cadangan listrik dan beroperasi selama 24 jam.
Ia mengatakan biaya penggunaan PLTS dengan baterai akan lebih murah ketimbang menggunakan pembangkit BBM. Pemakaian bahan bakar minyak di daerah terpencil membuat harga listriknya sekitar Rp 3.500 sampai Rp 4.500 per kilowatt hour.