Tantangan Besar Implementasi Perdagangan Karbon di Indonesia

123rf.com/malp
Ilustrasi perdagangan karbon atau carbon trading.
21/4/2021, 20.02 WIB

Perdagangan karbon di Indonesia dinilai memiliki potensi pendapatan yang cukup besar. Terutama dari sektor lahan maupun energi. Meski demikian, implementasinya memiliki sejumlah tantangan.

CEO Landscape Indonesia Agus Sari mengatakan tantangan perdagangan karbon terutama pada penyusunan dan pengembangan skema pasar karbon domestik. Seperti belum terbitnya peraturan presiden (Perpres) sebagai landasan hukum perdagangan karbon.

Sementara, sesudah perpres terbit, nantinya masih akan ada kebutuhan untuk mengaturnya secara sektoral. Seperti di Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, atau Kementerian Dalam Negeri.

"Jadi itu yang saya kira menjadi tantangan," kata Agus dalam webinar Katadata Earth Day Forum 2021: Pasar Karbon Untuk Investasi Hijau, Rabu (21/4).

Oleh karena itu, lanjut dia, pasar karbon perlu dilihat sebagai suatu komoditas. Sehingga dapat tunduk dengan aturan pasar yang ada, bukan aturan pemerintah yang dapat berubah sewaktu-waktu. Selain itu, aturan perdagangan karbon juga harus transparan, terutama terkait harga, serta penjual dan pembelinya.

Kemudian pemerintah juga perlu memberikan informasi dan pengetahuan mengenai pasar karbon di dalam negeri. Pasalnya masih banyak informasi yang simpang siur mengenai mekanisme perdagangan karbon.

"Pasar karbon ini etis tidak. Masak negara negara asing boleh menurunkan emisi ketika mereka beli carbon credit. Kalau seperti itu memperlihatkan jika informasi tidak seimbang," ujarnya.

Perdagangan karbon merupakan kompensasi yang diberikan oleh negara-negara industri maju penghasil karbondioksida untuk membayar kerusakan lingkungan akibat emisi tersebut kepada negara pemilik hutan penyerap karbon. Mekanisme ini menjadi solusi di beberapa negara dalam mengurangi emisi karbon.

Presiden Direktur PT Rimba Makmur Utama Dharsono Hartono mengungkapkan perjuangannya melakukan perdagangan karbon secara sukarela ini. Ada beberapa tantangan yang dihadapi perusahaan, terutama dari Lembaga swadaya masyarakat terkait skema perdagangan karbon.

Dia bercerita, para LSM tidak suka dengan istilah offset. Offset sendiri adalah penggunaan kredit karbon dari kegiatan mitigasi di luar lingkup emission trading system (ETS) untuk mengurangi emisi.

Menurutnya, LSM beranggapan, dengan adanya skema tersebut, maka para perusahaan besar yang menghasilkan emisi dan polusi ini dapat menurunkan emisinya dengan membeli skema offset.

"Apabila kita memperbolehkan offset ini diperjualbelikan perusahaan besar seperti Shell dan lainnya terus bisa melakukan kegiatan polusi sehingga dia bisa cuci dosa," ujarnya.

Padahal, lanjut Dharsono, perusahaan seperti Shell dan lainnya sangat peduli dengan masalah perubahan iklim. Oleh sebab itu, ketika mereka tak dapat menurunkan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan, maka jalan satu satunya yaitu melakukan offset.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebelumnya berpendapat perdagangan karbon merupakan upaya makelar dalam mencari keuntungan untuk menciptakan perdagangan baru. Yang merasakan hasilnya adalah perusahaan yang berdagang karbon.

"Ini motifnya bisnis, yang menikmati bukan alam dan mereka yang hidup di sekitar alam," ujar Manager Kampanye Iklim Eksekutif Nasional WALHI Yuyun Harmono saat dihubungi Katadata.co.id, beberapa waktu lalu.

Tak hanya itu, ia juga menilai perdagangan karbon berpotensi memberikan celah bagi perusahaan yang bergerak di industri ekstraktif untuk tidak benar-benar secara serius menurunkan emisi gas buang. Padahal, mereka seharusnya dapat mentransformasi bisnisnya dari energi tak ramah lingkungan ke energi baru terbarukan (EBT).

Namun dengan adanya karbon kredit, sektor industri dapat leluasa mengompensasi, membayar sejumlah uang tanpa harus repot-repot menjaga emisi gas buang yang dikeluarkan. "Mereka akan melanjutkan aktivitasnya, terus menghasilkan emisi dengan membeli karbon di tempat lain," kata Yuyun.

Oleh karena itu dia menilai sebaiknya pemerintah tidak melegalkan aturan ini hanya demi mencari keuntungan semata.

Reporter: Verda Nano Setiawan