Kementerian ESDM Jajaki BNI untuk Pendanaan Murah Proyek PLTS Atap

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta, Rabu (24/3/2021).
Editor: Yuliawati
13/9/2021, 15.24 WIB

Pemerintah terus menggenjot pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS. Salah satunya melalui penjajakan kerja sama untuk mendapatkan pendanaan murah dari perbankan dalam negeri.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Chrisnawan Anditya, mengatakan PLTS atap sangat memungkinkan untuk mengejar target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025. Untuk itu, perlu dukungan dari berbagai pihak, termasuk dari perbankan dalam negeri.

"Kami sedang menjajaki langsung, tingkat level Menteri ke pimpinan BNI mencari skema bisnis pendanaan untuk mendorong bagaimana EPC kontraktornya mendapat pendanaan murah," kata Chrisnawan dalam konferensi pers, Senin (13/9).

Skema pembiayaan pemasangan PLTS atap selama ini masih menggunakan skema cicilan kartu kredit. Padahal tujuan awal untuk menggenjot pengembangan pembangkit jenis ini bukanlah melalui model seperti itu.

Selain itu, pemerintah saat ini juga tengah menggodok skema untuk menurunkan biaya investasi PLTS atap berdasarkan best performance payment. Salah satunya dengan memberikan voucher kepada EPC kontraktor. "Ini nantinya akan menurunkan biaya investasi. Insya allah skemanya bisa kami selesaikan dalam bulan ini juga untuk kami launching," katanya.

Tak hanya dari segi pendanaan maupun investasi, pemerintah juga akan menggenjot pengembangan dari segi sumber daya manusia. Kementerian ESDM bahkan telah launching program patriot energi, di mana pemerintah melibatkan generasi muda untuk terlibat langsung di dalam pengembangan EBT mulai dari survei hingga proyek itu berjalan.

"Dari surveinya, potensinya, pengembangannya, kemudian pengoperasiannya sehingga berkesinambungan dan bisa berjalan," kata dia.

Indonesia memiliki potensi PLTS atap sebesar 32,5 gigawatt (GW). Namun, hingga saat ini pemanfaatanya baru mencapai 35,56 megawatt-peak (MWp).

Meski demikian, menurut Chrisnawan, telah terdapat pertumbuhan positif dari sisi penggunaan PLTS atap. Tercatat hingga Juli telah terdapat 4028 pelanggan pengguna PLTS atap.

Dari jumlah tersebut, penggunanya didominasi oleh pelanggan rumah tangga. Namun dari segi kapasitas, masih tetap didominasi oleh industri yang mempunyai ambisi menghasilkan produk ramah lingkungan.

"Pemerintah inginkan pencapaian renewable energy memenuhi target 23% di 2025 di satu sisi kami ikut berpartisipasi mengurangi emisi GRK dengan mendorong partisipasi masyarakat salah satunya yang didorong adalah pengembangan PLTS atap," kata dia.

Kementerian ESDM menargetkan kapasitas terpasang PLTS atap dapat mencapai 3,6 gigawatt (GW) pada 2025. Dengan kapasitas tersebut, diyakini dapat menurunkan konsumsi batu bara nasional hingga 3 juta ton per tahun ketika mulai beroperasi.



Direktur Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana sebelumnya menyebut berdasarkan kajian, rencana pemerintah mengembangkan PLTS atap akan berdampak langsung terhadap konsumsi batu bara yang masih mendominasi bauran energi pembangkit listrik.

"Konsumsi batu bara akan berkurang 2,98 juta ton per tahun dan bisa menjadi tambahan untuk ekspor," kata Dadan.

Meski begitu, ia tak menampik pengembangan PLTS atap dengan kapasitas tersebut juga akan berdampak bagi pendapatan PLN. Setidaknya ada potensi penurunan pendapatan hingga Rp 5,7 triliun per tahun.

Namun PLN dan pemerintah akan diuntungkan dengan turunnya biaya pokok penyediaan (BPP) listrik sebesar Rp 12,61/kWh yang dapat mengurangi subsidi dan kompensasi listrik hingga sebesar Rp 3,6 triliun.

Selain itu pengembangan PLTS atap akan mendatangkan potensi investasi Rp 45-63 triliun untuk pembangunan fisik PLTS dan Rp 2,04-4,08 triliun untuk pengadaan kWh ekspor-impor.

Reporter: Verda Nano Setiawan