Pemerintah memasukkan emisi karbon sebagai objek pajak baru dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) yang telah disetujui Komisi XI DPR. Ketentuan tersebut mengatur mulai dari subjek pajak hingga skema tarif pajak karbon.
Berdasarkan draft RUU HPP yang diterima Katatadata.co.id, penetapan tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan besaran tarif harga karbon di pasar per kilogram CO2 ekuivalen. Tarif minimum pajak karbon dalam RUU tersebut ditetapkan Rp 30 per Kg CO2 ekuivalen.
"Dalam hal tarif harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp30 per kilogram CO2 ekuivalen, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp30 per kilogram CO2 ekuivalen," tulis dalam RUU HPP BAB IV tentang Pajak Karbon pasal 13 ayat (9).
Tarif ini jauh di bawah yang diusulkan pemerintah sebelumnya yakni sebesar Rp 75 per Kg CO2 ekuivalen.
Beleid tersebut juga mengungkap wajib pajak (WP) dapat memperoleh pengurangan pajak karbon dan perlakuan khusus lainnya apabila berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon, pengimbangan emisi karbon atau mekanisme lainnya. Sementara WP dalam skema pajak ini yaitu orang pribadi atau badan.
Pajak karbon akan berlaku ketika WP membeli barang yang mengandung karbon. Selain itu pajak juga akan dikenakan untuk aktivitas WP lainnya yang menghasilkan karbon dan penghitungannya dilakukan pada akhir periode tahun.
"Penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim," demikian tertulis dalam dokumen tersebut.
Penerapan skema perpajakan baru ini akan memperhatikan dua aspek penting, yakni peta jalan pajak karbon dan pasar karbon. Kedua peta jalan ini adalah strategi yang dibuat pemerintah terkait rencana penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan (EBT) serta keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya.
Meski sudah ditetapkan mengenai subjek hingga tarifnya, sejumlah ketentuan masih akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP). Ketentuan yang akan diatur melalui PP antara lain, skema perubahan tarif, penetapan subjek dan penambahan objek pajak karbon, alokasi penerimaan dari pajak karbon untuk pengendalian perubhana iklim, serta dasar pengenaan pajak. Sementara ketentuan perhitungan, pemungutan, pembayaran, pelaporan dan mekanisme pajak serta pengurangan pajak akan diatur secara terpisah oleh Kementerian Keuangan.
RUU HPP yang mengatur pajak karbon ini sudah disepakati dalam pembahasan dengan Komisi XI DPR RI tetapi belum sepenuhnya final. Hal ini karena pemerintah masih perlu meminta restu DPR melalui rapat paripurna.
Rencana pengenaan pajak karbon masih menuai kontra dari sejumlah pihak, khususnya pengusaha.Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) membuat jajak pendapat dan analisis mengenai rencana implementasi pajak karbon ini. President IBCSD Shinta W. Kamdani menyebutkan kebanyakan pelaku usaha keberatan dengan penerapan pajak karbon.
"Dari analisis yang kami buat, bila ini dijalankan apa pengaruhnya bagi daya saing dan kemampuan kompetisi sektor tersebut," ujar Shinta dalam diskusi Katadata SAFE 2021 dengan tema Collaboration for The Future Economy, Senin (23/8).
Dewan Energi Nasional (DEN) juga sempat meminta pemerintah agar tidak memberlakukan pajak karbon bagi industri hulu migas dengan kontrak eksisting. Hal ini dinilai agar sektor ini tetap bisa kompetitif dan menarik.