Pemerintah berencana mengurangi secara bertahap penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara untuk mencapai target pengurangan emisi karbon. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebut anggaran yang dibutuhkan Indonesia untuk mempensiunkan seluruh PLTU yang ada saat ini mencapai Rp 3.500 triliun.
"Tidak ada cara bagi Indonesia bisa menangani masalah perubahan iklim dan mengurangi PLTU dengan cara sendiri, karena ini sangat mahal," kata Suahasil dalam webinar Road to Glasgow: Indonesia's Contribution to COP26, Kamis (28/10).
Suahasil mengatakan, pemerintah telah melakukan budgeting, yakni mengalokasikan pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mencapai target tersebut. Namun, upaya ini tentu tidak cukup.
Ia pun melihat pertemuan negara-negara dunia dalam agenda COP26 di Glasgow dalam waktu dekat jadi momentum penting. Agenda ini dapat menjadi milestone bagi internasional untuk memenuhi janjinya dalam rangka membantu negara-negara berkembang seperti Indonesia mencapai target perubahan iklim terutama dari sisi pendanaan.
Indonesia menargetkan bisa mengurangi emisi sampai 29% pada tahun 2023 dengan cara sendiri. Namun, pemerintah lebih optimistis untuk mengurangi emisi jika mendapatkan dukungan dari internasional dengan target pengurangan hingga mencapai 41%.
Suahasil menjelaskan, PLTU mengambil peran signifikan pada produksi karbon Indonesia. Berdasarkan riset, sekitar 35% dari emisi karbon yang ada berasal dari konsumsi energi. Sebagian besar untuk listrik.
"Kebanyakan konsumsi listrik kita diproduksi dari batu bara dan diesel, kita masih bergantung pada bahan bakar fosil dan itu adalah satu sektor yang sumbangan emisinya tinggi sehingga coba dikurangi," kata Suahasil.
Meski demikian, ia juga mengatakan, mempensiunkan PLTU bukan langkah yang mudah. Banyak pembangkit batu bara yang sudah meneken kontrak dengan pemerintah, terutama melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN). Oleh karena itu, menurutnya, transisi menuju pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan bukan hanya perkara menutup PLTU, tetapi juga menjaga sektor bisnis.
"Sangat penting untuk menyeimbangkan antara bagaimana menghentikan penggunaan PLTU tapi tidak mengganggu iklim bisnis, karena beberapa pihak mungkin harus membayar lebih. Jika PLTU ditutup sementara kontraknya masih efektif, ini juga masalah kalkulasi bisnis, berapa banyak kompensasi yang harus disediakan," kata Suahasil.
Terkait skema transisi energi yang membidik sektor PLTU batu bara, pemerintah awal bulan ini juga mulai memperkenalkan pajak karbon. Jenis pajak baru ini rencananya akan mulai diberlakukan kepada PLTU batu bara mulai April tahun depan.
Pada penerapan pajak karbon nantinya akan berlaku dua skema, yakni skema perdagangan karbon (cap and trade) dan skema pajak karbon (cap and tax). Pada skema perdagangan karbon, entitas yang menghasilkan emisi lebih dari cap atau batasan yang ditetapkan, diharuskan membeli sertifikat izin emisi (SIE) entitas lain yang emisinya di bawah cap. Selain itu, entitas juga dapat membeli seritifikat penurunan emisi (SPE).
Namun jika entitas tersebut tidak dapat membeli SIE atau SPE secara penuh atas kelebihan emisi yang dihasilkan, maka berlaku skema cap and tax, yakni sisa emisi yang melebihi cap akan dikenakan pajak karbon.
Ketentuan pajak karbon ini berlaku tarif lebih tinggi atau sama dengan harga di pasaran, tetapi ditetapkan juga tarif minimum sebesar Rp 30 per Kg CO2 atau Rp 30.000 per ton CO2 ekuivalen. Pajak akan diberlakukan bagi PLTU batu bara yang menghasilkan emisi melebihi cap atau batas atas yang ditetapkan.