Sri Mulyani Jaga Kondisi Keuangan PLN Menghadapi Transisi Energi

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, transisi menuju nol emisi karbon membutuhkan biaya yang tak sedikit.
Penulis: Agustiyanti
18/11/2021, 12.34 WIB

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) akan mendapat tugas paling berat dalam upaya Indonesia mencapai nol emisi karbon pada 2060. Menteri Keuangan Sri mulyani menyatakan, akan memastikan neraca keuangan PLN dalam kondisi baik selama masa transisi menunju energi bersih tersebut. 

"Memang Pak Zul (Dirut PLN Zulkifli Zaini) ini terlihat keren sebagai CEO PLN. Namun jangan lupa, kalau neraca PLN negatif, Pak Zul akan langsung ke saya, ya APBN. Jadi, kami akan jaga neraca PLN dalam masa transisi yang kritikal ini," ujar Sri Mulyani dalam Kompas 100 CEO Forum, Kamis (18/11).

Sri Mulyani menjelaskan, transisi menuju nol emisi karbon membutuhkan biaya yang tak sedikit. Peran PLN yang besar dalam proses transisi ini berpotensi mengganggu neraca BUMN listrik ini jika tak dipikirikan secara matang.

PLN, menurut dia, membutuhkan dana yang besar tak hanya untuk membangun sumber listrik ramah lingkungan untuk menggantikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), tetapi juga untuk menangkap kemungkinan meningkatnya permintaan energi. 

"Transportasi saat ini menuju ke listrik, LPG juga menuju ke listirik, dan lainnya. Ini tentu mendorong permintaan yang besar," kata Sri Mulyani. 

Ke depan, menurut dia, banyak masyarakat yang juga kemungkinan akan menggunakan atap panel. Menurut Sri Mulyani, hal ini akan membuat banyak konversi yang dilakukan oleh PLN yang belum tentu menguntungkan BUMN ini. 

"PLN saat punya base load, produksi, dan sebagian besar atau seluruhnya  IPP itu take or pay, sehingga walaupun tidak digunakan, rakyat mau buat memiliki solar cell sendiri, PLN harus bayar kepada itu tadi," kata dia.  

Saat ini, Sri Mulyani mengatakan, pemerintah telah memberikan bantuan kepada PLN dalam bentuk subsidi, kompensasi, hingga penyertaan modal negara. PMN yang disuntikkan bahkan mencapai sekitar Rp 5 triliun setiap tahunnya untuk mencapai elektrifikasi hingga 100% penduduk Indonesia.

 Ia mengatakan, biaya yang dibutuhkan untuk mendorong transisi energi di tanah air tak sedikit. Oleh karena tu, menurut dia, Kementerian Keuangan bersama dengan lembaga multilateral tengah melakukan diskusi terkait pemenuhan kebutuhan pendanaan ini. 

"Pada pertemuan di Glasglow, saya mengartikulasikan kebutuhan dana ini dengan sangat keras, Kita mau saja mencapai itu, tapi hitungan uangnya harus dibicarakan secara ekplisit. Siapa yang membayarkan berapa dan untuk apa," kata Sri Mulyani.

Sri Mulyani sebelumnya sempat menyebutkan bahwa pemerintah setidaknya butuh anggaran hingga US$ 30 miliar atau Rp 428,4 triliun (kurs Rp 14.280 per US$) untuk merealisasikannya dalam beberapa tahun ke depan.

"Indonesia telah mengidentifikasi terdapat 5,5 GW PLTU batu bara yang bisa masuk dalam proyek ini (pensiun dini), dengan kebutuhan pendanaan sebesar US$ 25-30 miliar selama delapan tahun ke depan," tulis Sri Mulyani dalam unggahan di akun instagram pribadinya @smindrawati, Selasa (2/11).

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara sebelumnya juga sempat mengatakan bahwa butuh anggaran hingga Rp 3.500 triliun untuk mempensiunkan seluruh PLTU batu bara yang ada saat ini. Kebutuhan ini menurutnya tidak bisa didanai sendiri, melainkan butuh dukungan internasional. 

Sri Mulyani mengatakan rencana pensiun dini PLTU batu bara menjadi salah satu agenda transisi energi Indonesia untuk memenuhi komitmen penanganan perubahan iklim.

Sebagaimana dokumen NDC, Indonesia berjanji mengurangi emisi 29% hingga tahun 2030 dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional. Rencana untuk mempensiunkan pembangkit batu bara juga disampaikannya bersama Presiden Jokowi di depan forum CEO dunia dan investor.