PLN Cuma Bangun Pembangkit EBT 10,6 GW, Bauran 23% Tak akan Tercapai

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/hp.
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta.
6/12/2021, 13.04 WIB

Upaya PLN menggenjot pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) sebesar 10,6 gigawatt (GW) hingga 2025 mendatang rupanya masih kurang untuk merealisasikan target bauran 23% secara nasional.

Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa menilai dengan target 10,6 GW tersebut, maka porsi EBT dalam bauran energi nasional pada 2025 baru mencapai 21%. Artinya masih ada selisih gap sekitar 3-3,5 GW yang seharusnya berasal dari pemegang wilayah usaha penyediaan tenaga listrik (Wilus) lain.

Ini berarti PLN secara total harus membangun 13,6-14,1 GW pembangkit listrik EBT hingga 2025 untuk mencapai target bauran sebesar 23%.

"Kalau 23% untuk PLN tercapai kalau terbangun 10,6 GW, tapi tidak untuk nasional. Jika selisih gap sebesar 3-3,5 GW ini terpenuhi, maka target bauran energi terbarukan sebesar 23% akan tercapai," kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (6/12).

Oleh karena itu, diperlukan dukungan dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk mengisi kekurangan tersebut. Menurut Fabby, PLTS, khususnya PLTS atap dapat mengisi gap untuk mencapai target bauran EBT nasional sebesar 23%.

Saat ini di beberapa wilus, pemilik wilus juga mendorong tenant untuk memasang PLTS atap. Misalnya, seperti di Jababeka, Batam, dan penggunaan PLTS di daerah tambang. "Berdasarkan proyek pipeline PLTS, saya cukup optimis 23% tercapai di 2025. Kementerian ESDM juga berupaya keras untuk mengakselerasi ET," katanya.

Sementara untuk mencapai target 10,6 GW, menurut dia mulai tahun depan PLN harus memulai lelang 3 hingga 4 GW per tahun. Khususnya proyek pembangkit yang dapat dibangun dengan cepat seperti PLTS.

Fabby pun menyarankan supaya PLN melakukan pelelangan yang terjadwal dan reguler. Karena lebih dari 60% kapasitas pembangkit akan dibangun swasta. Kemudian, PLN juga dapat segera melakukan eksekusi pembangkit-pembangkit yang rencananya akan dibangun oleh perusahaan.

"Dengan adanya rencana penyesuaian tarif (tariff adjustment) tahun depan, diharapkan kondisi finansial PLN membaik & punya kapasitas melakukan investasi," katanya.

Seperti diketahui, target bauran EBT sebesar 23% pada 2025 menjadi perhatian utama PLN untuk beberapa tahun ke depan. Karena itu, PLN pun menargetkan untuk membangun pembangkit EBT sebesar 10,6 GW, disamping program efisiensi PLTU yang sudah berjalan untuk mencapai target bauran yang ditetapkan.

Executive Vice President of Engineering and Technology PLN Zainal Arifin sebelumnya menyebutkan, dari 10,6 GW pembangkit EBT baru di 2025, 1,4 GW diantaranya merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), dan 3,1 GW berupa Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

Sementara itu, porsi Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTM) 1,1 GW, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 3,9 GW, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) 0,5 GW dan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBio) 0,6 GW.

"PLN telah memetakan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung program percepatan Carbon Neutral 2060. salah satunya adalah peta jalan (roadmap) pengembangan pembangkit EBT sesuai dengan RUPTL 2021-2030 ini," ujarnya.

Dia sadar jika program transisi energi yang saat ini sedang dijalankan oleh PLN menghadapi tantangan tersendiri, termasuk dalam bidang enjiniring. Untuk itu dia mendorong anak usaha PLN yang bergerak di sektor enjiniring, PT PLN Enjiniring, untuk menggalakkan inovasi.

"Transisi menciptakan model baru, dari sistem yang tersentralisasi ke sistem yang desentralisasi, investment driven menjadi lebih budget friendly, operasional secara terpusat menjadi lebih fleksibel, IT dari sekedar support menjadi AI dan machine learning," kata Zainal.

Zainal pun berharap enjiniring dapat mengembangkan metode untuk mendukung perkembangan teknologi yang dibutuhkan oleh proses transisi energi. Di samping itu, enjiniring juga dituntut untuk mampu mengembangkan grid PLN yang sudah beroperasi agar lebih smart dan fleksibel.

“Langkah ini penting agar beragam pembangkit Variable Renewable Energy (VRE) ketika sudah beroperasi nantinya dapat disalurkan kepada pelanggan dengan kualitas yang dapat diandalkan,” tegasnya.

Variable Renewable Energy (VRE) merupakan sumber energi terbarukan yang tidak dapat terkoneksi dan tersinkronisasi langsung (undispatchable) dengan jaringan listrik. Hal ini karena sifatnya yang berfluktuasi, seperti tenaga angin dan tenaga surya.

Berbeda dengan sumber energi terbarukan yang dapat dikontrol dan relatif konstan (dispatchable) seperti pembangkit listrik tenaga air atau geothermal.

Reporter: Verda Nano Setiawan