Pemerintah tengah berupaya mendorong transisi energi untuk mencapai target emisi bersih nol atau net zero emission. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas memperkirakan, transisi energi akan menciptakan setidaknya akan ada 1,8 sampai 2,2 juta tenaga kerja baru dalam empat dekade mendatang.
"Dengan menuju net zero emisi ini dapat menciptakan lapangan kerja baru yang lebih berkelanjutan hampir sekitar 1,8-2,2 juta lapangan kerja tambahan di tahun 2060," kata Direktur Lingkungan Hidup Bappenas Medrilzam dalam webinar Indonesia's Green Jobs Conference, Selasa (8/2).
Namun, Medrilzam menegaskan, tambahan tenaga kerja baru tersebut bisa tercapai jika melakukan intervensi. Intervensi setidaknya mencakup lima aspek, yakni menendorong energi terbarukanteknologi kendaraan listrik (EV), dan efisiensi energi, pemanfaatan lahan dan peningkatan pengelolaan limbah.
Dari kelima aspek tersebut, menurut dia, penciptaan lapangan kerja baru diperkirakan paling banyak bersumber dari peningkatan pengelolaan limbah serta pengembangan kendaraan listrik dan infrastruktur pendukungnya. Pemanfaatan lahan juga berpotensi menciptakan banyak tenaga kerja baru.
Medrilzam juga memperkirakan kegiatan 3R (Rewetting, Revegetation, dan Revitalization) dalam rangka restorasi ekosistem gambut mampu menciptakan 91 ribu tenaga kerja baru. Ini terutama untuk menunjang aktivitas konstruksi, pemeliharaan sekat kanal, aktivitas penanaman dan revitalisasi mata pencaharian. Selain itu, aktivitas perkebunan berkelanjutan berpotensi menciptakan sekitar 700 ribu lapangan kerja baru.
"Konteks ekonomi hijau ini memang diharapkan bisa menciptakan investasi hijau yang multiplier effect-nya menciptakan tujuh hingga sepuluh kali lipat lapangan kerja baru, bahkan lebih besar dari pola-pola konvensional," kata Medrilzam.
Selain itu, Medrilzam juga mengatakan dalam kajiannya, ekonomi sirkular akan memberikan benefit yang lebih banyak lagi. Penerapan ekonomi sirkular bisa menyumbang tambahan Rp 593-638 triliun kepada produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2030.
"Ini kemungkinan menciptakan 4,4 juta lapangan kerja hijau jika kita melakukannya konsisten," kata Medrilzam.
Tak hanya itu, menurut dia, penerapan ekonomi sirkular tentunya berdampak positif bagi lingkungan. Model ekonomi berkelanjutan ini diperkirakan bisa menurunkan emisi CO2 sampai 126 juta ton dan mengurangi timbulan limbah sebesar 18-52%.
Perkiraan Bank Dunia
Di sisi lain, studi Bank Dunia menunjukkan, langkah lebih ambisius pemerintah mendorong transisi energi akan menimbulkan biaya mahal terhadap perekonomian dalam jangka pendek hingga menengah. Bank Dunia menggunakan dua skenario untuk menghitung dampak ekonomi dari rencana transisi energi di dalam negeri dengan estimasi waktu tahun 2040.
Skenario pertama yakni pensiun dini PLTU batu bara dilakukan dalam 20 tahun. Emisi karbon berkurang 40% dan kapasitas terpasang PLTU baru bara tersisa kurang dari 5 GW pada 2040. Sementara pada skenario kedua, emisi CO2 bisa dikurangi hingga 70% dan tidak ada lagi pembangkit batu bara.
"Kehilangan pekerjaan diperkirakan mencapai hingga 2 juta secara kumulatif pada tahun 2040 dalam skenario terburuk," tulis Bank Dunia dalam laporannya bertajuk A Green Horizon: Toward a High Growth and Low Carbon Economy akhir Desember lalu.
Bank Dunia dalam studi tersebut juga membandingkan dampak ekonomi transisi energi berdasarkan sumber pendanaan. Dampak yang dihasilkan akan berbeda antara yang didanai swasta dan melalui blended finance atau campuran 50:50 antara pembiayaan pemerintah dan swasta.
Dalam skenario pertama dan jika pembiayaan sepenuhnya melalui swasta, maka risiko pengurangan tenaga kerja sekitar 500 ribu orang. Namun akan semakin banyak jika didanai melalui dengan skema blended, yakni dapat mencapai 1,8 juta orang.
Sementara menggunakan skenario kedua dan sepenuhnya pembiyaan swasta, hasilnya justru dapat menciptakan 50 ribu tenaga kerja baru. Namun hasil jauh berbeda jika dilakukan dengan blended finance, yakni justru menciptakan pengurangan 2,1 juta tenaga kerja.