Direktur Utama PT Medco Energi Internasional Tbk Hilmi Panigoro menilai transisi energi sebagai suatu keniscayaan. Tidak ada yang bisa menolak dorongan ini yang salah satu targetnya yaitu menuju net zero emission atau nol emisi karbon pada pertengahan abad ini.
Namun dia mengatakan bahwa ada pertanyaan besar, yakni apakah target yang ambisius ini realistis untuk dicapai. Pasalnya, dia melihat setiap negara memiliki tingkat kesiapannya masing-masing dalam melakukan transisi energi dan mengejar target net zero.
“Contohnya Indonesia, sekarang lebih dari 85% dihasilkan dari bahan bakar fosil seperti batu bara, gas, dan sebagian kecil diesel. Realistis tidak untuk mengubah itu semua dalam waktu sekitar 25 tahun?” ujarnya dalam Mandiri Investment Forum 2023 pada Rabu (1/2).
Hilmi menyebut bahwa transisi energi telah terjadi dalam 100 tahun terakhir. Namun transisi itu membutuhkan waktu yang tak singkat. Seperti ketika batu bara bertransisi ke minyak dan gas bumi, dunia membutuhkan waktu sekitar 100 tahun untuk mengembangkan infrastruktur energi yang baru.
Selain itu ada isu keamanan energi dan keberlanjutan yang harus diperhatikan dalam transisi energi. “Kita tidak punya pilihan, kita harus berubah. Tapi terkadang pilihan antara (energy) sustainability dan security tidak selalu beriringan,” ujarnya.
Dia mencontohkan, sumber energi baru terbarukan yang paling berkembang saat ini adalah tenaga surya dan angin yang pertumbuhan kapasitasnya secara global mencapai dua digit. Namun sumber energi ini terkendala intermitensi sehingga sewaktu-waktu dapat mengancam energy security jika tidak diantisipasi dengan baik.
“Salah satu anak usaha kami mengembangkan pembangkit energi terbarukan berkapasitas 50 MW di Bali. Kami bisa jual listriknya ke PLN seharga 5,5 sen tanpa baterai. Jika dengan baterai maka harganya akan naik tiga kali lipat,” ujarnya.
Dia menambahkan kalau saat ini Indonesia mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan teknologi yang ada, maka PLN harus menaikkan harga listriknya dua kali lipat atau pemerintah harus melipatgandakan subsidi energi.
“Transisi pasti akan terjadi, tapi harus dilakukan dengan laju yang tepat di mana teknologinya sudah cukup maju sehingga kita bisa mengembangkan energi terbarukan secara ekonomi, pada waktu yang tepat,” kata Hilmi.