Kementerian ESDM sedang menyusun rancangan Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang Pemanfaatan Biomassa Sebagai Campuran Bahan Bakar pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap. Regulasi ini akan menjadi acuan dalam pemanfaatan biomassa untuk campuran atau co-firing batu bara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
"Saat ini rancangan tersebut masih difinalisasi dan didiskusikan secara teknis dengan pemangku kepentingan terkait," kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Dadan Kusdiana lewat pesan singkat WhatsApp pada Rabu (26/4).
Apabila rancangan permen tersebut sudah selesai dibahas, selanjutnya akan diajukan ke Kementerian Hukum dan HAM untuk proses harmonisasi dan diajukan ke Kementerian Sekretariat Negara untuk mendapatkan izin prinsip dari presiden. "Izin prinsip itu penting sebelum dapat ditetapkan oleh Menteri ESDM," ujar Dadan.
Sebelumnya PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) meminta pemerintah untuk membuat regulasi mengenai pengadaan biomassa untuk campuran atau co-firing batu bara PLTU.
Regulasi tersebut ditujukan untuk memberikan dukungan atas jaminan penyediaan biomassa di sektor hulu, hingga pengaturan PLN sebagai pembeli tunggal atas seluruh bahan baku atau offtaker di sisi hilir.
Sekretaris Perusahaan PLN Energi Primer Indonesia atau EPI, Mamit Setiawan, menyampaikan bahwa regulasi terkait biomassa saat ini merupakan hal baru di internal PLN. Perusahaan pelat merah itu berharap dapat memperoleh dukungan regulasi dari pemerintah.
Dia menyampaikan bahwa harga biomassa untuk pembangkit listrik dibatasi dengan harga patokan tertinggi atau HPT batu bara. Hal tersebut berimbas kepada sikap para produsen yang memilih menjual hasil biomassa mereka ke pasar ekspor.
"Saat ini hitung-hitungan harga biomassa ke pembangkit PLTU dibatasi maksimum sama dengan HPT batu bara pada PLTU tersebut," ujar Mamit.
Menurut Mamit, Indonesia akan mengalami sejumlah kerugian akibat ekspor biomassa. Pengembangan energi hijau akan terhambat, di sisi lain pemenuhan energi domestik sebagian besar masih dipenuhi oleh impor energi fosil berupa BBM dan elpliji yang mahal.
"Apabila diekspor maka penggunaan biomassa dengan emisi rendah akan dinikmati negara lain. Peningkatan emisi di Indonesia, sementara penurunan emisi di negara lain," ujar Mamit.