ASEAN Diperkirakan Butuh Hampir US$ 1 Triliun untuk Transisi Energi

ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/aww.
Seorang pekerja membersihkan panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di pulau wisata Gili Trawangan, Kecamatan Pemenang, Tanjung, Lombok Utara, NTB, Rabu (14/12/2022).
22/6/2023, 05.14 WIB

Negara-negara ASEAN diperkirakan membutuhkan dana hingga US$ 987 miliar untuk mencapai target jangka pendek transisi energi di 2030 guna mencapai skenario net zero di 2050.

Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR) Marlistya Citraningrum mengatakan 40% dari kebutuhan dana tersebut diperlukan untuk untuk pembangkit listrik, terutama peningkatan penetrasi energi terbarukan. Sayangnya, pertumbuhan EBT di kawasan ini dianggap masih belum konsisten. 

Marlistya menyebut sejak Persetujuan Paris, Fair Finance Asia justru mencatat sejumlah besar pembiayaan masih mengalir untuk penambangan batubara dan PLTU di Asia. “Nilainya mencapai US$ 683 miliar, termasuk ke Indonesia, Filipina, dan Vietnam,” katanya.

Menurut Marlistya, ASEAN perlu mengkonsolidasikan berbagai kebijakan untuk mendorong percepatan transisi energi. Ini misalnya dengan mendorong pasar untuk pembiayaan berkelanjutan regional dengan taksonomi hijau. Selain itu, diperlukan juga fasilitas manajemen risiko pengembangan proyek EBT dan sinergi kebijakan yang memungkinkan tumbuhnya skema-skema pembiayaan inovatif.

Berdasarkan laporan International Renewable Energy Agency (IRENA), Asia Tenggara memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar. Pada 2050, lembaga internasional itu memprediksi  dua per tiga kebutuhan energi kawasan dapat dipenuhi oleh EBT. 

IESR mencatat saat ini pengembangan energi terbarukan di Asia Tenggara masih terhambat oleh kesenjangan teknologi. Selain itu, pasar EBT juga masih belum siap dan masih terdapat kekurangan investasi.

Farah Vianda, Koordinator Pembiayaan Berkelanjutan IESR mengatakan Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023 menjadi peluang bagi pemerintah untuk mendorong investasi EBT di kawasan. Farah menyebut ASEAN terbukti sebagai kawasan yang stabil dan tangguh yang dapat menunjukkan kemajuan dalam integrasi keuangan. Keberadaan taksonomi ASEAN menjadi salah satu langkah nyata negara anggota ASEAN untuk memastikan kawasan ini menarik bagi investor. 

Menurut Farah, Taksonomi hijau ASEAN fokus pada penghentian dini batubara untuk pembangkit listrik. Hal ini bisa menjadi peluang besar bagi negara-negara ASEAN untuk mulai melakukan transisi didukung dengan momentum JETP. 

“Namun, perlu dijaga juga untuk kriteria yang masuk pendanaan hijau,” katanya. 

Farah menegaskan Indonesia perlu mendorong negara-negara anggota ASEAN agar mulai fokus pada upaya dekarbonisasi sistem energi. Ini termasuk mengatasi rendahnya investasi di sektor energi terbarukan.

Reporter: Rezza Aji Pratama