Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan Indonesia memiliki rencana untuk penggunaan hidrogen hijau sebesar 20% di Ibu Kota Nusantara atau IKN pada 2038 guna mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Profesor Riset Biodiesel dan Hidrogen BRIN, Eniya Listiani Dewi mengatrakan implementasi hidrogen hijau memang sangat penting karena diyakini mampu menekan emisi karbon dari sektor industri. Dia menyebut, pemerintah bahkan juga menargetkan penggunaan hidrogen hijau di IKN bisa mencapai hingga 80% pada 2045.
“Memang kedua rencana ini sudah didefinisikan dan dibahas oleh Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional),” ujar Eniya dalam acara PLN Nusantara Power, Jakarta, Selasa (12/9).
Selain itu, dia mengatakan Dewan Energi Nasional mengusulkan bahwa di tahun 2060 sudah ada 1,7 juta kendaraan hidrogen dalam bentuk truk. Hal itu karena truk dinilai menjadi salah satu penyumbang emisi dan polusi di Indonesia dalam skala yang cukup besar.
“Jadi transportasi hidrogen mulai dikembangkan pada 2031-2035, dan targetnya ada sebanyak 245 ribu unit kendaraan hidrogen,” kata dia.
Eniya optimis, kedepannya hidrogen hijau akan terus berkembang guna mendorong adanya transisi energi. Dia menyebutkan, hidrogen hijau akan memainkan peran penting dalam dekarbonisasi sektor transportasi yang akan dimulai pada 2031, dan sektor industri pada 2041.
“Jadi memang hidrogen hijau ini harus terus dikembangkan jika kita mempunyai niat kuat untuk mencapai net zero emission pada 2060,” kata dia.
Sementara itu, melansir dokumen Peta Jalan Menuju Emisi Nol Bersih pada Sektor Energi di Indonesia yang diterbitkan oleh International Energy Agency (IEA) pada Oktober 2022, daya listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik hidrogen ditargetkan mencapai 220 terawatt-jam pada 2060.
Angka itu hampir menyentuh total permintaan saat ini di semua sektor. Meski begitu, dokumen itu belum menjelaskan secara detail perihal sektor mana saja yang bakal memanfaatkan hidrogen hijau.
Laporan tersebut menuliskan, pengembangan sumber energi hidrogen akan secara bertahap berjalan seiring menurunnya peran pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang mencapai puncaknya pada 2030. Namun semua itu dirasa akan tetap sulit tanpa adanya dukungan kebijakan.
Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat bahwa diperlukan pendanaan investasi sebesar US$ 800 juta atau Rp 12,46 triliun untuk mengejar target kapasitas produksi hidrogen hijau sebesar 328 megawatt (MW) pada awal 2030.
Nilai investasi diprediksi akan makin besar seiring peningkatan produksi hidrogen hijau dari tahun ke tahun. Menurut IESR, kapasitas produksi hidrogen hijau di Indonesia akan mencapai 52 gigawatt (GW) pada 2060 dengan total investasi mencapai US$ 25 miliar.
Tingginya biaya produksi hidrogen hijau disebabkan oleh tingginya biaya proses elektrolisis untuk memisahkan hidrogen dari air (H2O). IESR mencatat, biaya produksi hidrogen hijau di Indonesia diperkirakan sekitar US$ 3-12 per kilogram (kg), tergantung pada teknologi yang digunakan dan lokasi proyek.
Biaya produksi hidrogen hijau diharapkan turun menjadi sekitar US$ 2 per kg seiring dengan persaingan harga dari produksi hidrogen dari bahan bakar fosil dengan teknologi penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon atau carbon capture storage (CCS)/carbon capture utilization and storage (CCUS) atau biasa disebut hidrogen biru.
Potensi pemanfaatan hidrogen hijau yang punya sifat fleksibel dan serba guna dipandang sebagai daya tarik para investor. Hidrogen hijau bisa dimanfaatkan untuk kepentingan sektor energi, kimia, hingga metalurgi.