Pemerintah menargetkan Ibu Kota Nusantara (IKN) akan menggunakan hidrogen hijau sebagai salah satu sumber energinya pada 2038. Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan target tersebut bisa terealisasi karena pemerintah memang tengah mendorong penggunaan energi bebas emisi itu.
Namun, ada beberapa tantangan dalam penggunaan energi tersebut, salah satunya biaya operasional yang mahal. “Kalau dibilang bisa tercapai, bisa saja. Tapi bikin hidrogen kan dilihat ongkosnya dulu berapa, karena tidak murah, dan dilihat berapa kebutuhannya,” ujarnya saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (15/9).
Arifin mengatakan, terdapat sejumlah tantangan lainnya dalam penggunaan hidrogen hijau, diantaranya bagaimana membuat hidrogen layak secara ekonomi, menarik secara finansial, dan bermanfaat untuk masyarakat.
Adapun dari segi pasokan (supply), hidrogen sendiri masuk sebagai salah satu strategi utama Pemerintah dalam menjalankan peta jalan (roadmap) menuju netral karbon pada 2060.
Dia berharap, penerapan hidrogen hijau bisa menjadi salah satu kontributor transisi energi yang memiliki peran penting dalam dekarbonisasi sistem energi global.
Sebelumnya, Profesor Riset Biodiesel dan Hidrogen BRIN, Eniya Listiani Dewi mengatakan implementasi hidrogen hijau memang sangat penting karena diyakini mampu menekan emisi karbon dari sektor industri.
Dia menyebut, pemerintah bahkan juga menargetkan penggunaan hidrogen hijau di IKN bisa mencapai hingga 80% pada 2045. “Memang kedua rencana ini sudah didefinisikan dan dibahas oleh Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional),” ujar Eniya dalam acara PLN Nusantara Power, Jakarta, Selasa (12/9).
Eniya optimis, kedepannya hidrogen hijau akan terus berkembang guna mendorong adanya transisi energi. Dia menyebutkan, hidrogen hijau akan memainkan peran penting dalam dekarbonisasi sektor transportasi yang akan dimulai pada 2031, dan sektor industri pada 2041.
“Jadi memang hidrogen hijau ini harus terus dikembangkan jika kita mempunyai niat kuat untuk mencapai net zero emission pada 2060,” kata dia.
Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat bahwa diperlukan pendanaan investasi sebesar US$ 800 juta atau Rp 12,46 triliun untuk mengejar target kapasitas produksi hidrogen hijau sebesar 328 megawatt (MW) pada awal 2030.
Nilai investasi diprediksi akan makin besar seiring peningkatan produksi hidrogen hijau dari tahun ke tahun. Menurut IESR, kapasitas produksi hidrogen hijau di Indonesia akan mencapai 52 gigawatt (GW) pada 2060 dengan total investasi mencapai US$ 25 miliar.
Tingginya biaya produksi hidrogen hijau disebabkan oleh tingginya biaya proses elektrolisis untuk memisahkan hidrogen dari air (H2O). IESR mencatat, biaya produksi hidrogen hijau di Indonesia diperkirakan sekitar US$ 3-12 per kilogram (kg), tergantung pada teknologi yang digunakan dan lokasi proyek.