Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) menyampaikan bahwa pelaku usaha panas bumi membutuhkan regulasi baru guna mencapai target pengembangan energi hijau yang tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Ketua Umum API Prijandaru Effendi mengatakan, kebijakan baru tersebut salah satunya yaitu aturan terkait power wheeling atau penggunaan bersama jaringan transmisi listrik.
Untuk itu, dia mengatakan, melalui rencana RUPTL 2021-2030 atau yang sering disebut Green RUPTL, PLN bersama pemerintah telah menargetkan pencapaian terpasangnya panas bumi lebih dari 5.500 megawatt (MW) pada tahun 2030 atau setara 51,6% dari target penambahan pembangkit energi baru terbarukan (EBT).
“Maka untuk bisa mencapai target itu, perlu tambahan lagi sebesar 3,3 GW selama 7 tahun atau sekitar 450 MW per tahun tambahannya,” ujarnya dalam acara The 9th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition, di Jakarta, Rabu (20/9).
Dia menyebutkan, kapasitas panas bumi yang sudah terpasang hingga saat ini yaitu sebesar 2.378 MW atau rata-rata pertumbuhan panas bumi yang terpasang per tahunnya hanya sekitar 40 MW.
Dengan angka tersebut, menurutnya pertumbuhan energi panas bumi masih jauh dari sumber daya yang Indonesia miliki yaitu sekitar 24.000 MW dengan cadangan sekitar 14.000 MW.
"Memang target di RUPTL ini cukup ambisius. Sehingga diperlukannya komitmen semua pihak terkait. Kerja keras, dukungan, dan campur tangan pemerintah agar hambatan permasalahan atau tantangan yang ada saat ini bisa diselesaikan," kata dia.
Prijandaru menuturkan, pemerintah harus memberikan kebijakan dan dukungan untuk mendorong bisnis panas bumi yakni salah satunya dengan menetapkan harga jual listrik panas bumi yang sesuai dengan keekonomian proyek dengan tingkat risiko tinggi dan investasi jangka panjang. “Dan juga perlu dilaksanakannya power wheeling, agar bisa langsung transfer energi ke pelanggan,” kata dia.
Pendapatan negara dari sektor pemanfaatan panas bumi diproyeksi mencapai Rp 2,42 triliun sepanjang 2023, atau tumbuh 6% dibanding realisasi pada 2022.
Pertumbuhan itu dipicu tambahan setoran bagian pemerintah atau SBP dari penjualan listrik pembangkit panas bumi Wayang Windu Bandung Unit I periode Juli 2022 sampai Januari 2023.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2024, pendapatan negara dari sektor panas bumi diperkirakan mencapai Rp 2,17 triliun, turun 10,4% dibandingkan prospek tahun 2023.
Melansir Nota Keuangan RAPBN 2024, pendapatan negara dari eksploitasi panas bumi periode 2019–2022 tumbuh rata-rata 0,8%, dengan kemajuan tertinggi terjadi pada tahun 2022 sebesar 18,6%.
Progres tersebut didukung oleh peningkatan pendapatan dari panas bumi atas tindak lanjut hasil audit BPKP terhadap pengusaha energi panas bumi untuk tahun buku 2017-2018.
Selain itu, adanya pembayaran iuran produksi dari wilayah kerja panas bumi (WKP) Supreme Energy Rantau Dedap, serta penambahan kapasitas WKP Sorik Marapi Geothermal Power.