Sebanyak lebih dari 130 perusahaan raksasa seperti Nestle, Unilever, Bayer, Mahindra Group dan Volvo Cars mendesak para pemimpin dunia untuk menyepakati komitmen penghentian penggunaan bahan bakar fosil dalam acara konferensi iklim PBB (COP28). Agenda tersebut akan berlangsung pada 30 November, di Dubai
Mereka bahkan menulis dalam sebuah surat untuk menegaskan bahwa para peserta pertemuan COP28 harus berkomitmen untuk mencapai 100% sistem tenaga listrik tanpa karbon pada 2035.
Selain itu, para perusahaan tersebut juga meminta negara-negara kaya untuk membantu negara-negara berkembang secara finansial agar mereka dapat meninggalkan bahan bakar fosil paling lambat 2040.
"Bisnis kami merasakan dampak dan biaya dari meningkatnya kejadian cuaca ekstrem akibat perubahan iklim," tulis perusahaan-perusahaan tersebut dalam surat yang dikoordinasikan oleh We Mean Business Coalition, sebuah lembaga nirlaba yang mendorong aksi iklim yang lebih besar di tingkat global, dikutip dari Reuters, Kamis (25/10).
"Untuk melakukan dekarbonisasi sistem energi global, kita perlu meningkatkan energi bersih secepat kita menghentikan penggunaan dan produksi bahan bakar fosil," tulis mereka lagi.
Disisi lain, perusahaan-perusahaan juga semakin berkomitmen pada jadwal mereka sendiri untuk mengurangi emisi karbon milikinya. Namun, banyak yang mengakui bahwa kemampuan mereka untuk memperlambat emisi karbon dioksida (CO2) yang menyebabkan pemanasan bumi bergantung pada tindakan yang lebih cepat dari pemerintah.
Namun demikian, banyak negara di dunia yang masih menganggarkan subsidi bahan bakar fosil dengan jumlah besar.
Menurut International Monetary Fund (IMF), nilai subsidi bahan bakar fosil secara global mencapai US$7 triliun pada 2022. Nilai itu mencakup subsidi bensin, solar, minyak tanah, dan komoditas minyak bumi lainnya; gas bumi termasuk LPG; batu bara; serta subsidi listrik berbasis energi fosil di 168 negara.
Berikut 10 negara dengan subsidi bahan bakar fosil terbesar di dunia, seperti tertera dalam grafik di bawah.
Perubahan Iklim Adalah Musuh Bersama
Sebelumnya, Presiden Terpilih COP28 Dr. Sultan Al Jaber mengajak dunia agar tidak hanya terbuai dengan janji-janji dalam melawan perubahan iklim. Pada pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB 2023, Al Jaber menegaskan bahwa perubahan iklim adalah musuh bersama.
"Perubahan iklim adalah musuh kita bersama, sehingga kita harus bersatu untuk menghadapinya," ujar Al Jaber dalam keterangan resmi, Jumat (22/9).
Al Jaber mengutip data terbaru dari Global Stocktake yang menyebut bahwa dunia perlahan-lahan hancur dan kita tidak punya banyak waktu. Oleh karena itu, Al Jaber meminta dunia untuk berani dan tegas, serta kembali ke jalur yang tepat untuk bisa memenuhi ambisi iklim.
"Emisi gas rumah kaca 22 Gigaton. Ini adalah jumlah emisi gas rumah kaca yang perlu kita kurangi dalam tujuh tahun ke depan agar angka kenaikan suhu Bumi sebesar 1,5 derajat Celcius tetap berada dalam batas aman," tuturnya.