Pemerintah mempublikasikan draft dokumen perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan, CIPP) dalam kerja sama transisi yang adil (Just Energy Transition Partnership, JETP) untuk konsultasi publik pada Rabu (1/11/2023).
Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat perubahan yang patut diapresiasi dalam dokumen CIPP tersebut, khususnya peningkatan signifikan target bauran energi terbarukan sekitar 44% di tahun 2030.
"Target tersebut lebih tinggi dibandingkan joint statement JETP pada tahun lalu sebesar 34%," kata Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR melalui keterangan pers, Kamis (2/11).
Dalam skenario JETP sekarang, penurunan emisi didapatkan dengan penurunan utilisasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara. Dengan demikian, pencapaian target baru 44% bauran energi terbarukan pada 2030 dapat tercapai apabila adanya peningkatan fleksibilitas operasi PLTU batubara PLN, tinjauan kontrak PLTU batubara swasta, serta dukungan regulasi untuk percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Adapun rencana pembangunan energi terbarukan memberikan porsi besar pada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) karena menyesuaikan prioritas PLN. Menurut Deon, hal itu memiliki risiko mengingat masa pengembangan proyek PLTP yang mencapai 8 hingga 12 tahun, dan PLTA yang bisa mencapai 6-10 tahun.
Tidak Menyertakan PLTU Industri
Namun, dia mengatakan, CIPP ini memuat penetapan pencapaian target nir emisi karbon (net zero emissions, NZE) di sektor ketenagalistrikan pada 2050. Hal ini belum selaras dengan Persetujuan Paris yang mendorong pengakhiran penggunaan pembangkit fosil pada 2040.
Tidak hanya itu, menurut Deon, target penurunan emisi hanya difokuskan pada emisi pembangkit listrik pada jaringan PLN. Artinya, skenario JETP tidak membahas penurunan emisi karbon secara menyeluruh, yang mencapai 250 juta ton karbon dioksida ekuivalen di tahun 2030.
"Angka ini belum termasuk target pengurangan emisi dari pembangkit untuk kebutuhan sendiri (captive power). Jika dikombinasikan, maka target puncak emisi total menjadi jauh lebih tinggi daripada yang diproyeksikan pada saat negosiasi JETP tahun lalu," ujarnya.
Deon juga menyayangkan dihapusnya rencana pengakhiran operasional PLTU batubara dengan total kapasitas 5 GW yang ada di draf sebelumnya. Hal itu karena ketidakjelasan sumber pendanaan dari IPG.
IESR menilai penghapusan rencana pengakhiran operasional PLTU batubara ini akan menyulitkan Indonesia untuk mencapai target net-zero di 2050 dan meningkatkan bauran energi terbarukan setelah 2030.
“Dihapuskannya rencana pengakhiran operasional 5 GW PLTU batubara sebelum 2030 karena ketiadaan dukungan pendanaan sangat disesalkan. Ini membuat JETP Indonesia semakin jauh dari target Paris Agreement," ujarnya.
Berdasarkan hasil kajian IESR, PLN perlu mengakhiri 8,6 GW PLTU untuk mencapai target puncak emisi sebelumnya sebesar 290 juta ton karbon dioksida. Untuk itu, perlu dilakukan dialog lanjutan dengan IPG untuk mengeksplorasi blended finance (pendanaan campuran) melalui skema matching fund (dana padanan) .
"Dimana pendanaan pensiun dini PLTU berasal dari tambahan dana di atas komitmen IPG dan disamakan dengan dana dari sumber APBN serta sumber lainnya,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.