Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta agar skema power wheeling atau penggunaan jaringan transmisi dan distribusi bersama tetap masuk di dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET).
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, skema tersebut dapat mempercepat pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di dalam negeri sekaligus mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Tak hanya itu, skema power wheeling bahkan bisa menambah pendapatan PT PLN.
“Seharusnya begitu, ada tambahan pendapatan untuk PLN. Hal ini juga sudah ada pembicaraan dengan PLN hanya saja ada kekhawatiran tidak terkendali. Tetapi akan kita kendalikan supaya tidak memberikan dampak,” ujar Arifin saat ditemui seusai Rapat Kerja (Raker) di Gedung DPR RI, Senin (20/11).
Untuk diketahui, power wheeling merupakan mekanisme yang dapat memudahkan transfer energi listrik dari sumber energi terbarukan atau pembangkit swasta ke fasilitas operasi PLN secara langsung. Mekanisme ini memanfaatkan jaringan transmisi yang dimiliki dan dioperasikan oleh PLN.
Arifin menuturkan, kebijakan power wheeling sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dan Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah (PP) No 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik.
Adapun dalam peraturan tersebut, tertulis bahwa pemanfaatan bersama jaringan transmisi dan distribusi ini dilakukan melalui sewa jaringan. Tak hanya itu, Arifin mengatakan dalam aturan tersebut juga menjelaskan terkait cara untuk membuka akses energi bersih bagi konsumen industri agar bisa bertahan dan memiliki daya saing global.
“Jadi tanpa adanya akses ini, kemungkinan sulit bisa mendapatkan percepatan bauran EBET dalam sistem. Jadi tidak semuanya bisa disediakan satu pihak, maka perlu kerja sama dengan seluruh pihak yang ingin berinvestasi,” kata dia.
Selain itu, Arifin mengatakan dalam menjalankan skema power wheeling harus menjaga dan memperhatikan keandalan sistem, hingga kualitas pelayanan pelanggan, “Termasuk juga keekonomian dari pemegang izin usaha transmisi dan distribusi tenaga listrik," ujarnya.
Menurut Arifin, skema power wheeling akan memudahkan pelaku usaha jika ingin menggunakan listrik yang bersih. Untuk itu, dalam mekanismenya pun harus saling menguntungkan antara IPP dan PT PLN.
"Misal kamu punya industri, ingin pakai listrik yang bersih. Sementara harus mencari-cari sumbernya tidak ada. Lalu, ada yang mau dan bernegosiasi, itu bisa ada sepakat masuk tapi lewat jalur transmisi yang ada," ujar Arifin.
Pro Kontra Power Wheeling
Sebelumnya, skema power wheeling sempat dihapus dari daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU EBET dengan dalih PLN sedang mengalami kelebihan pasokan atau oversupply listrik. Namun dalih tersebut dinilai tidak relevan dengan kondisi serapan listrik domestik yang terus melonjak.
Institute for Essential Services Reform (IESR) beranggapan bahwa kondisi kelebihan pasokan listrik yang terjadi pada PLN tidak akan berlangsung secara terus-menerus.
Penghapusan skema power wheeling juga dilihat sebagai langkah mundur dalam menjaga ketahanan energi nasional jangka panjang menjadi 1800 terawatt jam (TWh) pada 2060. Angka ini setara lima kali lipat dari kapasitas listrik di tahun 2021 sebesar 300 TWh.
"Hari ini memang terjadi over supply, tetapi kondisi itu mungkin akan teratasi pada 2025 atau 2026 seiring naiknya permintaan listrik," kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam diskusi publik bertajuk Pojok Energi Belat Belit RUU EBET pada Senin (27/2).
Power wheeling awalnya masuk dalam rancangan RUU EBET yang dirilis Kementerian ESDM. Usulan tersebut kemudian mendapat mendapat catatan khusus dari Kementerian Keuangan yang menyebut implementasi power wheeling tidak sejalan dengan kondisi PLN yang saat ini mengalami kelebihan pasokan atau oversupply listrik.
Menurut Fabby, permasalahan oversupply yang berorientasi jangka pendek tidak sejalan dengan regulasi perundang-undangan yang berlaku jangka panjang. Kekhawatiran atau penolakan terhadap mekanisme power wheeling di dalam DIM RUU EBET disebut tidak beralasan.
"Kondisi oversupply seperti ini kok dipakai untuk UU yang berlaku untuk jangka panjang. Ini tidak tepat," ujar Fabby.
Penolakan skema power wheeling juga berangkat dari kekhawatiran sejumlah pihak yang berdampak pada lini bisnis PLN sebagai perusahaan badan usaha milik negara (BUMN). Skema power wheeling disebut membuat infrastruktur yang dibangun oleh PLN dengan investasi perseroan maupun APBN justru malah dinikmati oleh swasta.
"PLN juga akan kehilangan pasarnya karena swasta bisa langsung menjual listriknya ke masyarakat," kata Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan pada Kamis (12/1).
Menurut data Global Energy Monitor, sampai akhir semester I 2023 ada sekitar 147 perusahaan yang memiliki pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Asia Tenggara. Dari ratusan entitas tersebut, PT PLN (Persero) tercatat sebagai perusahaan pemilik PLTU batu bara dengan kapasitas terbesar.
Sampai akhir semester I 2023 PT PLN (Persero) memiliki 52 unit PLTU batu bara yang beroperasi, dengan total kapasitas 8,43 GW.