Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Airlangga Hartarto, mengatakan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) panas bumi atau geothermal di tanah air masih memiliki sejumlah tantangan. Salah satunya pajak untuk pembangkit hijau tersebut terbilang masih tinggi karena sebelumnya digolongkan dalam sektor minyak dan gas.
“Kita tau pengembangan panas bumi memiliki beberapa tantangan kebijakan fiskal. Pajak untuk panas bumi di Indonesia sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain,” ujar Airlangga dalam Peluncuran Prospek Ekonomi Indonesia oleh World Bank berjudul "Climate Action for Development" di Jakarta, Rabu (13/12).
Untuk itu, Airlangga mengatakan, pemerintah sedang melakukan kajian mendalam agar pajak energi panas bumi di Indonesia bisa lebih murah. Dengan demikian, para investor berminat untuk berinvestasi di sektor energi bersih tersebut.
“Jadi saya pikir kita perlu bekerja lebih signifikan dan lebih rinci, untuk membuat harga pajak panas bumi bisa lebih layak dan terjangkau,” kata Airlangga.
Dia mengatakan, kapasitas panas bumi yang terpasang di Indonesia baru 2.378 MW, atau rata-rata pertumbuhan panas bumi terpasang per tahun hanya sekitar 40 MW. Dengan begitu, pertumbuhan energi panas bumi masih jauh dari sumber daya yang dimiliki sekitar 24.000 MW.
Siapkan Insentif
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan memberikan sejumlah insentif dan kemudahan untuk menarik perusahaan besar menggarap pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).
Hal itu dilakukan karena saat ini sejumlah perusahaan-perusahaan besar, salah satunya seperti PT Bakrie Power, sedang menggarap pembangkit hijau tersebut.
Oleh sebab itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan industri panas bumi Indonesia dinilai ideal untuk melakukan perdagangan karbon.
“Ya kita pasti akan memberikan banyak kemudahan ya, karena panas bumi ini ideal untuk carbon swap atau menurunkan emisi karbon,” ujar Arifin saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (11/8).
Arifin menuturkan, pemerintah sudah membuat sejumlah aturan dalam mengembangkan investasi panas bumi. Salah satunya yakni dengan mengantisipasi risiko bilamana investor tersebut gagal dalam melakukan eksplorasi.
Berdasarkan laporan Climate Transparency Report 2022, sumber energi listrik dari energi terbarukan masih minim di Indonesia. Tercatat, bauran sumber tenaga listrik dari energi terbarukan baru mencapai 19% pada 2021.
Dari proporsi tersebut, tenaga air (hydro) menyumbang bauran sumber energi listrik terbesar yaitu 8%. Lalu, disusul biomassa dan limbah 5,3%; panas bumi (geothermal) 5,1%; energi angin di kawasan pesisir (wind on shore) 0,1%; dan energi surya (solar) 0,1%.