Permintaan hidrogen rendah karbon atau hidrogen hijau diproyeksikan tumbuh signifikan pada 2031-2060. Terdapat tiga sektor pengguna hidrogen hijau terbesar yaitu transportasi, energi, dan industri.
Hal itu tercantum dalam Strategi Hidrogen Nasional yang disusun oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Menteri ESDM, Arifin Tasrif, mengatakan salah satu poin penting dalam Strategi Hidrogen Nasional adalah pengembangan hidrogen rendah karbon untuk mendukung transisi energi dan dapat berkontribusi terhadap mitigasi perubahan iklim di tingkat global.
"Pemanfaatan hidrogen rendah karbon sampai dengan tahun 2030 masih terbatas, namun diperkirakan bertumbuh signifikan hingga tahun 2060," kata Arifin dikutip dalam Strategi Hidrogen Nasional, Rabu (27/12).
Dia mengatakan, Kementerian ESDM akan mendukung pengembangan hidrogen melalui penyusunan regulasi, standar teknis dan keamanan yang dapat mendukung iklim investasi, serta mendorong pengembangan infrastruktur hidrogen yang handal dan terintegrasi. Upaya tersebut dapat berjalan dengan baik melalui kolaborasi dan keterlibatan semua pihak.
Tiga Sektor Pengguna Hidrogen Hijau
Berdasarkan pemodelan net zero emission (NZE) Kementerian ESDM, permintaan hidrogen rendah karbon diprediksi tumbuh dari sekitar 0,2 PJ (setara dengan 26.000 barel minyak) di tahun 2031, naik menjadi 34,3 PJ di 2040, dan
memuncak hingga mencapai 609 PJ di tahun 2060.
Penggunaan hidrogen rendah karbon untuk transportasi akan dimulai dengan 26.000 barel minyak atau setara dengan 0,04 TWh untuk transportasi truk pada 2031. Penggunaan hidrogen hijau tersebut diprediksi meningkat menjadi 52,5 juta barel minyak atau setara 89 TWh untuk transportasi perkapalan dan truk) di 2060.
Selain pemodelan yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, International Energy Agency (IEA) memproyeksi bahwa kebutuhan hidrogen rendah karbon di Indonesia akan meningkat menjadi lebih dari 208,3 TWh pada tahun 2060.
Di samping itu, IEA memproyeksi bahwa laju pengembangan hidrogen rendah karbon di Indonesia baru akan meningkat pesat setelah tahun 2030 dan akan didominasi oleh sektor pembangkitan listrik (digunakan dalam bentuk amonia untuk co-firing), sektor transportasi (dalam bentuk hidrogen dan bahan bakar sintetis) dan sektor industri.
Pertamina juga telah menyusun peta jalan terkait kebutuhan hidrogen hijau dan amonia hijau domestik di Indonesia. Dalam peta jalan tersebut, kebutuhan hidrogen diproyeksikan melalui dua skenario, yaitu:
Skenario 1 (low adoption scenario) memperkirakan bahwa kebutuhan hidrogen rendah karbon akan mencapai 2,1 MTPA sebagai bahan bakar untuk heavy duty dan medium duty vehicles pada tahun 2040.
Skenario 2 (high adoption scenario) memperkirakan bahwa kebutuhan hidrogen dapat mencapai 8,7 MTPA dengan asumsi adanya penggunaan hidrogen rendah karbon dalam sektor pembangkit listrik (Pertamina NRE, 2023).
Berdasarkan data IEA, komitmen investasi terbesar di skala global untuk pengembangan energi hidrogen berasal dari Jerman, yakni mencapai US$10,3 miliar pada 2021. Sedangkan di kawasan Asia, komitmen investasi paling besarnya berasal dari Jepang, yakni US$6,5 miliar.