Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai revisi aturan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap masih tidak ideal. Aturan baru tersebut berpotensi menghambat pertumbuhan PLTS atap dan bauran energi baru terbarukan.
“Saya rasa aturan ini tidak ideal, dan saya menghimbau agar permen ini bisa ditinjau ulang di 2025,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa saat dihubungi Katadata, Selasa (13/3).
Sebagai informasi, pemerintah akan menerbitkan Revisi Peraturan Menteri Menteri ESDM no. 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang terhubung pada jaringan tenaga listrik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Aturan baru tersebut telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo.
Fabby mengatakan, ada tiga faktor yang membuat revisi aturan ini tidak ideal dan dapat menghambat pertumbuhan PLTS atap di Indonesia. Tiga faktor tersebut adalah:
1. Menghapus net metering
Menurut Fabby, kebijakan menghapus net metering membuat PLTS atap menjadi tidak menarik bagi pengguna skala kecil, diantaranya usaha kecil menengah dan pengguna rumah tangga. Pasalnya, penghapusan net metering akan mengurangi keekonomian dari PLTS atap skala kecil.
Net metering adalah sistem layanan yang diberikan PLN untuk pelanggan yang memasang sistem PLTS atap di properti mereka. Dengan sistem tersebut, pelanggan tetap harus menggunakan jaringan listrik konvensional (PLN) meskipun memasang sistem PLTS untuk kebutuhan rumah tangga.
2. Penetapan sistem kuota
Revisi aturan PLTS atap juga memuat sistem kuota untuk menyesuaikan kapasitas transmisi PLN sehingga bisa mengakomodir listrik dari energi baru terbarukan. Lewat mekanisme kuota, para pengguna PLTS atap tidak bisa mengekspor atau menjual listrik ke PLN.
Menurut Fabby, penetapan sistem kuota bisa mempengaruhi pengguna PLTS atap, termasuk skala industri. Sistem tersebut bisa menghambat jika kuota yang diatur terlalu kecil dibandingkan dengan minat industri dan investor.
"Katakanlah potensi pasarnya ada 1 GW lalu hanya dikasih kuota 250 MW atau 400 MW kan itu terlalu kecil. Jadi sistem kuota itu bisa menghambat itu kalau tidak diatur secara konvensional,” katanya.
Padahal, menurut Fabby, minat sektor industri untuk memasang PLTS atap tinggi. Misalnya saja anggota Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menargetkan memasang PLTS atap hingga 500-700 MW di 2024.
Fabby meyakini kebutuhan PLTS atap anggota AESI di sektor industri dan bisnis akan meningkat di 2025. Potensi penambahan kapasitas PLTS atap juga bisa didapatkan dari segmen dan industri yang lain.
3. Implementasi aturan
Fabhy mengatakan, implementasi aturan baru tersebut sulit dilakukan dengan kondisi tidak adanya net metering dan adanya sistem kuota. Kondisi tersebut berpotensi mempersulit perizinan pemasangan PLTS atap.
Fabby berharap PLN tidak mempersulit pemasangan PLTS atap dengan berbagai syarat dalam aturan baru tersebut. Dengan demikian, pertumbuhan PLTS atap di Indonesia tidak terhambat.