Masukkan Bioenergi dan Co-firing, FWI Nilai Arah RUU EBET Tidak Jelas

ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/Spt.
Pekerja memanen pohon kaliandra dari Hutan Taman Energi Cirata, Bendungan Cirata, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (10/8/2023).
Penulis: Rena Laila Wuri
1/3/2024, 16.11 WIB

Forest Watch Indonesia (FWI) menilai arah kebijakan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (RUU EBET) masih belum jelas. Pasalnya, RUU EBET masih memasukkan penggunaan batu bara, co-firing, dan bioenergi yang berkontribusi pada deforestasi.

Hal ini memicu kekhawatiran terhadap ketidakpastian mengenai upaya pengurangan emisi dan dampak negatifnya terhadap lingkungan.

Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Putra Prayoga mempertanyakan arah navigasi transisi energi yang dinahkodai Komisi VII DPR RI. Hal ini karena masih dimasukkannya bioenergi ke dalam golongan energi terbarukan di dalam draf RUU EBET. 

"Ada keraguan dalam pengambilan keputusan bioenergi sebagai energi terbarukan. DPR selaku pengusul RUU ini sudah cukup informasi atau tidak, seperti dalam mengukur dampak deforestasi yang ditimbulkan (oleh bioenergi)," ujar Anggi, dalam pernyataan tertulis, Jumat (1/3). 

Pasalnya, FWI menilai bioenergi merupakan bagian dari bisnis yang justru akan menjadi pemicu deforestasi baru dalam transisi energi. Transisi energi seharusnya meninggalkan energi fosil, proyek co-firing, dan komodifikasi sumber daya alam.

Pembahasan RUU EBET masih tertunda karena pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Ketua Komisi VII Sugeng Suparwoto menyebut RUU EBET akan disahkan secepatnya dalam beberapa kali sidang. 

“Kami terbuka dan koalisi ini bisa hearing di gedung DPR RI," kata Sugeng dalam workshop yang bertajuk “Menavigasi Tantangan dan Peluang Transisi Energi Pasca Pemilu 2024″ yang diselenggarakan oleh Indonesian Parliamentary Center (IPC), Selasa (27/2).

Sementara itu, Koordinator Divisi Perwakilan Parlemen Indonesian Parliamentary Center (IPC) Arif Adiputro mengatakan bahwa masyarakat sipil membutuhkan wadah informasi mengenai arah dan tujuan kebijakan energi, baik di parlemen maupun di pemerintahan.

"IPC bersama rekan-rekan CSO lain telah bersepakat untuk tidak memasukan konsep energi baru seperti gasifikasi batu bara, nuklir dan termasuk co-firing dalam proses legislasi RUU EBET.  Hal tersebut menghambat proses transisi energi yang sebenarnya. Untuk itu, kami menyuarakan secara terus-menerus agar DPR dan Pemerintah mengeluarkan unsur energi baru di RUU EBET," ujar Arif.

IPC berharap pemerintah fokus pada kebijakan yang mendukung transisi energi dan tidak merugikan lingkungan. Arah navigasi transisi energi harus jelas dan terukur, dengan target yang ambisius namun realistis. 

Pemerintah harus berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan menghentikan penggunaan batu bara dan co-firing, serta mendorong pengembangan dan penggunaan energi terbarukan yang berkelanjutan. Pemerintah juga harus menjamin akses energi yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat.

Reporter: Rena Laila Wuri