Konsumsi Listrik RI Diramal Tumbuh 4 Kali pada 2030, Perlu Genjot Tenaga Surya

ANTARA FOTO/Hasrul Said/YU
Petugas melakukan pemeriksaan panel surya pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di atap pusat perbelanjaan Trans Studio Mall (TSM) Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (16/8/2024). Trans Studio Mall (TSM) Makassar menggunakan teknologi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang diperkirakan mampu menghasilkan 3,7 juta kWh energi bersih atau setara dengan pengurangan emisi karbon sebanyak 3,3 juta kilogram sebagai komitmen untuk mengedepankan ekonomi hijau.
23/9/2024, 12.22 WIB

Kebutuhan listrik di Indonesia diperkirakan tumbuh empat kali lipat pada 2050 dibandingkan 2022. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas listrik surya dan anginnya dari saat ini 0,2% menjadi 60% pada 2050.

Hal itu tercantum dalam Laporan terbaru Climate Analytics dan NewClimate Institute “Setting 1,5°C compatible wind and solar targets: Guidance for key countries.

Penulis laporan dari Climate Analytics, Neil Grant, mengatakan Indonesia baru mulai mendorong pembangkit listrik tenaga surya dan angin.Untuk mengejar ketertinggalan dari negara lain, perlu target yang ambisius dan jelas, serta dikombinasikan dengan peningkatan pendanaan iklim internasional secara signifikan.

"Menutup PLTU batu bara yang sudah tua dan beralih ke energi terbarukan tidak hanya efisien dari aspek biaya, tetapi juga berdampak positif dari aspek kesehatan dan lingkungan,” kata Neil Grant, dikutip dari keterangan tertulis, Senin (23/9).

Dia mengatakan, Indonesia membutuhkan bantuan pendanaan internasional untuk mencapai target energi surya dan angin 14% pada 2030, sesuai kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP). Dalam kesepakatan JETP, listrik energi surya ditargetkan mencapai 29 gigawatt (GW) dan tenaga angin 9 GW pada 2030.

Namun, Neil mengatakan, target ini kurang ambisius. Indonesia seharusnya mengejar kapasitas listrik energi surya hingga 77 GW dan angin 29 GW pada 2030, dan 590 GW dan 150 GW berturut-turut pada 2050.

"Indonesia juga perlu mengakhiri penggunaan energi fosil di sektor kelistrikan pada 2045 dari porsi saat ini 80%," ujarnya.

 Mengacu laporan itu, menurut Neil, dukungan internasional jadi penentu keberhasilan negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk mendongkrak listrik surya dan angin. Pendanaan berbasis hibah dan peningkatan kapasitas dibutuhkan untuk memitigasi dampak transisi ke energi terbarukan. Pasalnya, investasi energi surya dan angin saat ini baru terpusat mayoritas di negara maju dan Cina.

 Di sisi lain, pemerintah Indonesia, berperan menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk energi terbarukan. Pemerintah perlu mengirimkan sinyal transisi energi yang jelas, seperti menetapkan target energi terbarukan yang ambisius dalam Dokumen Iklim (Nationally Determined Contribution/NDC) terbaru, serta merinci jenis teknologi dan periode waktu perencanaan untuk mencapai target.

Head of Government Affairs Global Renewables Alliance, Louise Burrows, mengatakan Pelaku bisnis mendesak pemerintah dunia untuk menetapkan target yang ambisius, spesifik, dan dapat dijalankan dalam NDC dan rencana energi mereka. Hal ini akan menciptakan kepastian pasar untuk membuka investasi dan memastikan bergulirnya proyek energi terbarukan.

“Industri siap mempercepat peningkatan kapasitas energi surya dan angin yang diperlukan untuk memenuhi target iklim," ujarnya.

Secara global, energi surya dan angin menjadi andalan untuk mencapai target iklim. Di sisi lain, Indonesia merupakan satu dari 11 negara yang berkontribusi atas 70% listrik energi surya dan angin global. Dengan demikian, Indonesia harus meningkatkan kapasitas listrik energi jenis ini hingga lima kali lipat pada 2030 dan delapan kali lipat pada 2050.