Hilirisasi Berkelanjutan, Kunci Indonesia Menjadi Raja Nikel Dunia

Katadata
Hilirisasi mineral, terutama nikel, bukan hanya strategis untuk meningkatkan nilai tambah, melainkan juga menjadi motor penggerak transisi energi melalui ekosistem kendaraan listrik.
27/9/2024, 17.58 WIB

Jakarta – Indonesia merupakan produsen terbesar sekaligus pemilik cadangan utama nikel dunia. Dari total 130 juta ton cadangan nikel dunia, sebanyak 55 juta ton atau setara 42 persennya tersimpan di Indonesia. Secara perhitungan ekonomi, ekspor nikel pada tahun 2023 saja, Indonesia mendapat Rp 106,59 triliun.

Sebagai upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen seperti yang tertuang di Asta Cita, Pemerintahan Prabowo-Gibran (2024-2029) menjadikan hilirisasi nikel secara berkelanjutan sebagai salah satu fokus utama. 

“Tantangannya, bagaimana memastikan pemerintah Indonesia ke depannya melaksanakan hilirisasi nikel secara berkelanjutan,” ucap Wakil Ketua Tim TKN Prabowo-Gibran yang juga merupakan Wakil Ketua Komisi Energi (VII) Eddy Soeparno dalam focus group discussion (FGD) yang dilaksanakan oleh Katadata Insight Center (KIC) dan Katadata Green bekerja sama dengan Tim 8% Pemerintahan Prabowo-Gibran dan Koalisi Transisi Bersih pada Selasa (24/9) di Jakarta.

FGD dengan tema “Strategi Pemerintah Baru Mengejar Pertumbuhan Ekonomi dan Komitmen Pengurangan Emisi Karbon melalui Hilirisasi Nikel dan Transisi Energi” ini dilakukan untuk membahas strategi Pemerintahan Prabowo-Gibran (2024-2029) dalam mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8% dan rekomendasi Quick Wins yang diusung oleh Koalisi Transisi Bersih. Adapun Transisi Bersih merupakan koalisi 30 kelompok masyarakat sipil yang fokus pada agenda transisi energi berkeadilan. 

Seiring dengan larangan ekspor nikel mentah sejak 1 Januari 2020, industri pengolahan hasil tambang atau smelter nikel bermunculan di Indonesia. Tim Prabowo-Gibran juga mengklaim bahwa peningkatan kapasitas smelter berdampak signifikan bagi peningkatan produksi dan pasokan nikel Indonesia di pasar global. 

Pada 2023, pasokan nikel Indonesia membanjiri 55 persen pasokan global dan diperkirakan naik menjadi 64 persen sepanjang 2024. Berdasarkan riset KIC, dalam 5-10 tahun ke depan, pasokan nikel dari Indonesia diperkirakan akan  terus meningkat dan mendominasi.

Menurut Wakil Ketua Tim TKN Prabowo-Gibran yang juga merupakan Wakil Ketua Komisi Energi (VII) Eddy Soeparno, hilirisasi mineral, terutama nikel, bukan hanya strategis untuk meningkatkan nilai tambah, melainkan juga menjadi motor penggerak transisi energi melalui ekosistem kendaraan listrik. 

“Indonesia berpotensi besar untuk memimpin pasar global hilirisasi nikel, termasuk baterai untuk kendaraan listrik. Ini sejalan dengan kebutuhan dunia terhadap kendaraan listrik,” ucap Eddy. 

Namun, Indonesia menghadapi tantangan dalam memastikan proses hilirisasi nikel dan transisi energi agar tidak hanya fokus pada aspek ekonomi, tetapi juga memperhatikan prinsip-prinsip ESG (Environmental, Social, Governance). Terutama dalam hal penggunaan energi yang ramah lingkungan, seperti pengurangan ketergantungan pada pembangkit listrik tenaga batu bara.

Menurut data Center for Research on Energy and Clean Air (CREA), hilirisasi nikel masih diikuti maraknya pembangunan pembangkit batu bara di kawasan industri (PLTU Captive). Kebijakan ini bahkan dipermudah dengan adanya Perpres 112/2022 yang mengizinkan pembangunan PLTU di kawasan industri strategis, termasuk industri hilirisasi.

Padahal menurut CREA, penggunaan PLTU Captive sebagai sumber energi bagi industri nikel berkontribusi signifikan terhadap emisi karbon dan polusi udara yang membahayakan masyarakat, seperti kandungan CO2, SO2, NOx, dan partikel debu (PM 2.5). 

Chief Content Officer & Co-Founder Katadata Heri Susanto, memaparkan hasil riset KIC bahwa lonjakan smelter diikuti pembangunan PLTU yang mengutamakan energi dari PLTU Captive sebanyak 14,5 GW.  “Kondisi ini bisa mempersulit target penurunan emisi pada 2030,” ucapnya.

Untuk itu, KIC mengajukan beberapa rekomendasi agar hilirisasi nikel dijalankan secara berkelanjutan.  Pertama, moratorium dan pengendalian investasi smelter nikel. Ini diperlukan untuk mengatur supply dan demand nikel dunia agar Indonesia menikmati nilai tambah secara optimal dan cadangan nikel tidak cepat habis. 

Kedua, mengadopsi energi terbarukan untuk menekan emisi pengelolaan smelter. Untuk itu, pemerintah perlu merevisi Perpres 112 Tahun 2022 yang mendorong pengelolaan smelter dengan menggunakan energi batu bara diganti dengan energi terbarukan. 

Ketiga, mengundang investor yang memiliki komitmen kuat terhadap keberlanjutan. Keempat, memastikan reklamasi lahan pasca tambang untuk mengatasi deforestasi. Kelima, meningkatkan hilirisasi nikel menjadi industrialisasi nikel, seperti produksi baterai kendaraan listrik. 

Mengamini rekomendasi KIC, Plt. Direktur Program Koaksi Indra Sari Wardhani sebagai perwakilan dari Koalisi Transisi Bersih menyampaikan bahwa perlu ada tindak lanjut revisi Perpres 112/2022 dengan merumuskan draft peta jalan pensiun dini batu bara termasuk safeguard. 

"Termasuk menjadikan ESG sebagai persyaratan mendapatkan izin investasi, pemenuhan biofuel dan tidak boleh dengan deforestasi,” katanya.

Menanggapi kekhawatiran soal deforestasi, Dewan Pakar dan Penasihat Kebijakan Iklim TKN Prabowo-Gibran Ferry Latuhihin yang juga hadir dalam FGD menyebutkan, Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Nilai karbonnya bisa mencapai Rp 3.000-4.000 triliun.

 Ferry menilai, upaya hilirisasi yang berkelanjutan dan juga upaya dekarbonisasi bukan hanya karena tuntutan global, namun juga manfaat nasional. “Ekonomi hijau ini bukan hanya untuk memenuhi Paris Agreement, tapi jadi sources of income negara kita, kita harus kembali ke mother nature,” pungkasnya.