Indonesia perlu melakukan upaya serius untuk mengembangkan energi baru terbarukan atau EBT demi mengejar pertumbuhan ekonomi 8% yang ditargetkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Bahan bakar fosil diprediksi akan segera habis sehingga tidak mampu menopang kebutuhan energi menuju Indonesia Emas 2045.
Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, mengatakan pembangkit EBT sangat diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang stabil, Indonesia juga memerlukan energi yang cukup dan stabil pertumbuhannya setiap tahun. Energi fosil yang menopang pembangkit di Indonesia tidak akan cukup jika tidak diiringi dengan peningkatan pembangkit EBT.
Berdasarkan perhitungan CORE Indonesia menggunakan metode konservatif, batu bara akan habis dalam 28 tahun ke depan. Adapun minyak bumi akan habis dalam 21 tahun dan gas alam habis dalam 19 tahun.
Jika menggunakan skenario moderat, beberapa bahan bakar fosil akan habis dengan lebih cepat seperti batu bara 21 tahun, gas alam 13 tahun, dan minyak bumi 14 tahun. Sementara jika menggunakan skenario agresif, bahan bakar fosil akan habis sebelum 20 tahun.
"Berarti kalau kita kaitkan dengan (Indonesia Emas) 2045, kita harus memikirkan energi fosil yang akan habis. Kalau kita sudah kehabisan energi, kehabisan bensin sebelum sampai 2045," ujar Faisal dalam diskusi publik "Energi Baru dan Terbarukan: Pendorong atau Penghambat Pertumbuhan Ekonomi?", di Jakarta, Rabu (18/12).
Faisal mengatakan, dengan kondisi tersebut maka penting bagi Indonesia mengembangkan pembangkit EBT guna mencapai target menjadi negara maju pada 2045. Ia menyayangkan transisi energi di Indonesia yang seakan bergerak di tempat sejak 2021. Bauran EBT di Indonesia sejak 2021 sampai dengan sekarang masih berada di kisaran 12-14% atau masih sangat jauh dari target yang ditetapkan.
"Artinya, EBT perlu dipercepat kalau kita mau mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi. Nah, ini lebih jauh lagi kalau kita hubungkan sama target pertumbuhan di 2030," ujarnya.
Faisal mengatakan, pemerintah harus mengambil tindakan untuk mempercepat penambahan kapasitas energi hijau yang masih melimpah di Indonesia. Namun, ia menilai pengembangan EBT di Indonesia terhalang stigma mahalnya biaya pembangunan pembangkit EBT. Untuk itu, ia menyarankan agar pemerintah dapat melakukan pungutan ekspor batu bara dan disalurkan untuk pengembangan EBT di Indonesia.
"Batu bara, itu juga dari sisi keuntungan yang existing sekarang itu cukup besar termasuk yang di ekspor. Batu bara belum dimanfaatkan, posisi keuntungan yang sekarang untuk membiayai energi baru-barukan," ucapnya.
APBN untuk Percepat Pembangunan Transmisi
Tenaga Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Infrastruktur Migas, Anggawira, mengatakan pemerintah bisa menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mempercepat realisasi pembangunan transmisi listrik di Indonesia.
Dengan kondisi geografis di Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau dan penyebaran sumber daya EBT jauh dari lokasi industri yang menyerap listrik, dibutuhkan transmisi untuk menghubungkan antarpulau.
"Pemerintah bisa investasi untuk transmisi," ujar Anggawira.
Ia mengatakan, dalam melakukan pembangunan transmisi, pemerintah juga dapat mengambil dana dari keuntungan yang diperoleh PT PLN (Persero). Contoh penggunaan dana APBN dalam pembangunan transmisi seperti pembangunan pipa jaringan gas (jargas) Cirebon-Semarang (Cisem) karena pengusaha gas lamban dalam membangunnya.
Dalam kasus pembangunan jargas, pihak pengusaha seakan enggan untuk menyambungkan antara sumber gas yang berada di sekitar Jawa Timur dan Sumatera Utara ke pusat industri di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
"Jadi menurut saya hal-hal itu yang perlu kita develop, dan memang dalam konteks proses transisi energi, energi bersih yang ada harus kita optimalkan," ujarnya.