Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca secara bertahap sesuai Kesepakatan Paris 2015. Pemerintah menargetkan pengurangan emisinya mencapai 29% dengan usaha sendiri dan 41% melalui dukungan internasional pada 2030.
Kepala Perwakilan Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangasa (UNDP) untuk Indonesia Norimasa Shimomura mengatakan kunci untuk memenuhi perjanjian itu adalah memanfaatkan pembiayaan nasional, swasta, dan publik. Hal ini cukup penting mengingat kebutuhan dana Indonesia untuk program perubahan iklim mencapai US$ 247 miliar.
Nilai tersebut sekitar Rp 3.494 triliun, dengan asumsi kurs Rp 14.147 per dolar AS. UNDP telah bekerja sama dengan pemerintah soal ini. Salah satunya dengan mendukung Kementerian Keuangan untuk menerbitkan green sukuk.
Obligasi berbasis syariah tersebut akan dialokasikan untuk mendanai mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. “Kami mendukung Indonesia untuk mengembangkan obligasi ini dengan tujuan pembangunan berkelanjutan,” kata Shimomura dalam acara diskusi secara virtual, Jumat (11/12).
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Luky Alfirman mengatakan inisiatif hijau atau berbasis lingkungan ini cukup penting untuk mendukung komitmen awal dalam memerangi perubahan iklim. Terutama demi mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan sebagai bagian dari komitmen pemerintah.
Upaya untuk mendanai program tersebut relatif mahal. "Pengeluaran untuk perubahan iklim telah menghabiskan US$ 36 miliar pada periode 2016 dan 2019," kata dia.
Pemerintah telah menerbitkan green sukuk pada November lalu. Surat utang syariah bernama ST007 itu memiliki kupon 5,5% dan akan digunakan untuk pembangunan ramah lingkungan. Penerbitannya menghasilkan dana Rp 2 triliun.
Insentif untuk Investasi Berdampak Negatif Rendah
Banyak negara saat ini berlomba-lomba memberikan insentif kepada investasi dengan eksternalitas negatif yang rendah untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Eksternalitas negatif dalah aktivitas ekonomi yang menyebabkan dampak negatif pada pihak ketiga saat tahap produksi, distribusi, atau konsumsi dari suatu produk.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Hidayat Amir mengatakan kebijakan pemerintah akan terus responsif dengan berbagai inovasi yang ada termasuk dalam investasi. "Namun memang proses perubahan memerlukan transisi," ujarnya pada 9 November lalu.
Ia menjelaskan, eksternalitas negatif menjadi salah satu komponen yang dipertimbangkan pemerintah dalam mengambil kebijakan. Pemerintah hingga kini masih merespons mayoritas isu ekternalitas negatif menggunakan instrumen cukai.
Meski demikian, ada beberapa insetif pemerintah yang mendukung isu tersebut. Salah satunya, insentif mobil listrik. "Kami akan terus dorong seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi," kata dia.
Namun, Hidayat berpendapat bahwa insentif sebenarnya hanya merupakan pemanis dan bersifat temporer. Hal yang paling mendasar dalam memperbaiki investasi adalah reformasi struktural.