Perubahan iklim merupakan ancaman global yang memiliki konsekuensi ekonomi dan sosial. Apabila tak dimitigasi dengan baik, dampak perubahan iklim terhadap ekonomi bahkan bisa lebih buruk ketimbang dampak pandemi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pada 2023 krisis iklim dapat menimbulkan kerugian ekonomi terhadap Indonesia sebesar 0,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini setara Rp 112,2 trilun. Pada tahun-tahun berikutnya, perubahan iklim pun dapat terus menggerus nilai ekonomi.
“Diperkirakan potensi kerugian ekonomi Indonesia akibat perubahan iklim ini sekitar 0,6-3,45 persen dari PDB pada 2030,” kata Sri Mulyani dalam HSBC Summit 2022, Rabu (14/9/2022).
Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu menambahkan, jika dunia tidak menaati Paris Agreement yang menetapkan sasaran netralitas karbon pada 2050, maka akan timbul kerugian baru. Yakni, dunia akan kehilangan nilai ekonominya hingga lebih dari 10 persen.
“Krisis ini berpotensi menghasilkan kerugian finansial yang tinggi, mengurangi kekayaan, dan menurunkan PDB,” imbuh Sri Mulyani.
Ia mengimbuhkan, sejak 2010-2018 emisi gas rumah kaca meningkat 4,3 persen. Kemudian, peningkatan rata-rata suhu mencapai 0,03 derajat celciuss tiap tahunnya. Pada sisi lain, permukaan laut di Indonesia rata-rata meningkat 0,8-1,2 sentimeter per tahun.
Indonesia adalah negara yang berkomitmen mematuhi dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Namun, butuh anggaran yang sangat besar untuk benar-benar dapat mengurangi dampak buruk perubahan iklim. Indonesia membutuhkan anggaran Rp3.461 triliun, atau Rp266 triliun per tahun untuk mencapai sasaran NDC.
“Anggaran kami hanya Rp89,6 triliun per tahun, atau sekitar 3,6 persen dari total anggaran pemerintah,” ujar Sri Mulyani.
Pemerintah berkomitmen memerangi perubahan iklim melalui perjanjian Paris Agreement dengan mengurangi 29 persen emisi karbon dengan upaya sendiri, serta 41 persen dengan dukungan internasional. Upaya tersebut diharapkan tercapai pada tahun 2030.
Untuk itu, Indonesia menyusun berbagai skema pendanaan yang mengarahkan berbagai implementasi kegiatan ekonomi ke arah “hijau”. Berbagai kebijakan fiskal yang mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan juga dibuat demi mengakomodasi konsep ramah lingkungan pada aktivitas produksi di berbagai sektor industri.
Di antaranya, penerbitan green sukuk dan dorongan terhadap penggunaan kendaraan listrik. Pemerintah juga memiliki skema pembiayaan untuk sektor geotermal, serta mempromosikan asuransi bencana.
Pada sisi lain, pemerintah juga berencana menerapkan pajak karbon. Pajak tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, namun masih belum diimplementasikan.
Presiden Direktur PT Bank HSBC Indonesia Francois de Maricourt mengungkapkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia memang tidak mampu memenuhi target NDC. “Indonesia butuh dana lebih dari US$300 miliar untuk mitigasi aksi dalam pata jalan NDC,” ucapnya.
Oleh karena itu, kemitranan keuangan publik dan swasta serta aliansi keuangan global sangat penting demi memudahkan transisi ekonomi. Dari sisi regulasi di bidang keuangan, menurut Maricourt, transisi ini harus difasilitasi oleh perbankan dan diadopsi oleh perusahaan besar maupun kecil.