Pemerintah tengah berupaya memacu pembangunan industri hijau untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan.
Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam menyebutkan bahwa jumlah investasi yang dibutuhkan rata-rata sebesar Rp 2.377 triliun per tahun dari 2025-2045 untuk melaksanakan kebijakan ekonomi hijau. Investasi hijau juga akan memberikan manfaat penciptaan lapangan kerja hingga 1,66 juta pada 2045.
“Untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan kebijakan yang mengarah pada penguatan pembiayaan inovatif hijau, seperti blended finance, impact investment, carbon tax, dan lainnya. Maka dibutuhkan rata-rata sebesar Rp 2.377 triliun per tahun,” ujar Medrilzam dalam keterangan resminya, dikutip Jumat (11/8).
Analisis Kebijakan Ahli Muda Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal, Ferike Indah Arika membandingkan akumulasi pendanaan untuk mitigasi perubahan iklim yang diperlukan dalam rentang 2018-2030 mencapai Rp 4.002 triliun. Jumlah tersebut dinilai masih jauh lebih kecil daripada kebutuhan investasi ekonomi hijau.
“APBN yang dipantau alokasinya untuk kegiatan mitigasi dan adaptasi masih jauh antara dari yang kita punya dan yang dibutuhkan. Ketimpangan kebutuhan pendanaan yang besar ini, tentu saja tidak bisa hanya dipenuhi oleh APBN yang terbatas,” ujar Ferike.
Ekonomi Hijau Harus Selaras dengan Pertumbuhan Ekonomi
Medrilzam mengatakan upaya pemerintah dalam mencapai energi bersih atau hijau harus selaras dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang setara dengan negara maju.
"Pertumbuhan ekonomi tidak bisa hanya di kisaran 5% per tahun. Kalau di angka itu, tidak akan tercapai Indonesia jadi negara maju. lima besar PDB terbesar di dunia. Pertumbuhan kita harus di kisaran 6-7%," ujarnya.
Hal tersebut perlu dicapai, mengingat pemerintah yang tengah serius menjalankan program-program transisi energi. Salah satu tujuan jangka panjangnya yaitu dengan tercapainya Net Zero Emissions (NZE) pada 2060.
Selain itu, Medrilzam mengatakan hal tersebut juga didorong dari adanya target penurunan intensitas emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 93,5% agar bisa menuju NZE.
Pasalnya, NZE sendiri masuk dalam sasaran nomor 5 pada visi Indonesia 2045. Di sisi lain, dengan mengikuti skenario pembangunan pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2020-2045 sektor industri akan didorong untuk menciptakan nilai tambah.
Jika sektor industri menjadi prioritas, maka sektor energi juga harus digenjot sebagai penyokong industri. Dengan demikian bahwa spirit RPJPN sudah bukan lagi reformasi, melainkan transformasi. Apalagi untuk sektor energi, transformasi harus sesegera mungkin dilakukan agar kadar emisi di Indonesia tidak semakin besar.
Sebagai informasi, penurunan emisi karbon di Indonesia selalu memenuhi target dalam tiga tahun terakhir. Penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) berkontribusi mengurangi emisi.
Pada 2021, Indonesia berhasil mengurangi emisi sebesar 69,5 juta ton CO2 ekuivalen (CO2e) menurut data Kementerian ESDM. Pengurangan emisi ini melebihi target 67 juta ton CO2e.
Pada 2019, Indonesia berhasil mengurangi 54,8 juta ton CO2e. Ini melebihi target yang ditetapkan sebesar 51 juta ton CO2e. Hal yang sama terjadi pada 2020. Indonesia berhasil mengurangi 64,4 juta ton CO2e, melebihi target 58 juta ton CO2e.