Institute for Essential Services Reform (IESR) meminta pemerintah mendorong rencana investasi dan kebijakan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk fokus pada pensiun dini PLTU batu bara guna mencapai target transisi energi.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menuturkan, hal itu perlu dilakukan karena hingga saat ini minat negara-negara donor JETP yang tergabung dalam IPG (International Partners Group) dan GFANZ (Glasgow Financial Alliance for Net Zero) untuk menyediakan pendanaan pensiun dini PLTU sangat rendah.
Padahal pengurangan PLTU diperlukan untuk meningkatkan penetrasi energi terbarukan. Salah satu strategi untuk bisa mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 34% pada 2030 dan target net zero emission (NZE) pada 2050, yakni dengan melakukan pensiun dini PLTU batu bara sebelum 2030.
Fabby memperkirakan biaya pensiun dini PLTU batu bara tersebut mencapai US$ 4 miliar atau setara Rp 61 triliun. Angka tersebut di bawah nilai perkiraan yang diberikan oleh PLN sebelumnya.
Oleh sebab itu, dia menilai bahwa IPG harus mau menyediakan pendanaan pensiun dini PLTU batu bara kepada Indonesia sebagai konsekuensi keterlibatan mereka dan demi mempertahankan kredibilitas JETP itu sendiri.
Negara-negara yang tergabung dalam IPG di antaranya Amerika Serikat (AS), Jepang, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Jerman, Norwegia, Italia, serta Inggris dan Irlandia. Kemitraan ini juga termasuk Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) Working Group.
Disisi lain, dia mengatakan bahwa IESR memandang penyempurnaan dokumen CIPP akan memperjelas jumlah dana yang dibutuhkan untuk proyek prioritas, contohnya pengembangan rencana proyek energi terbarukan.
Berdasarkan studi IESR, kebutuhan pendanaan untuk transisi energi hingga 2050 apabila ingin sesuai target Persetujuan Paris senilai US$ 1,3 triliun atau setara Rp 19,8 kuadriliun, atau rata-rata US$ 30 miliar (Rp 457 triliun) hingga US$ 40 miliar (Rp 609 triliun) per tahun.
Sementara itu, apabila hanya sampai 2030, pendanaan yang dibutuhkan paling tidak sebesar US$ 130 miliar atau setara dengan Rp 1,98 kuadriliun.
IESR memandang alokasi porsi hibah di dalam skema JETP juga perlu ditingkatkan untuk mendukung aspek transisi berkeadilan yang luas serta transformasi aktor utama agar bisa mengimplementasikan CIPP yang ambisius dalam waktu dekat.
Sebagai informasi, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Salah satu strategi yang digenjot saat ini salah satunya yakni, dengan mempensiunkan dini sumber energi dengan emisi karbon tinggi, seperti PLTU.
Adapun JETP pertama kali diluncurkan pada KTT Perubahan Iklim PBB ke-26 di Glasgow, Skotlandia pada 2021. Program ini merupakan inisiasi kelompok negara-negara kaya yang tergabung dalam IPG antara lain Inggris, Prancis, Jerman, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa (UE).
Program pendanaan ini untuk membantu negara-negara berkembang meninggalkan energi batu bara. Sekaligus mendorong transisi ke penggunaan teknologi yang lebih rendah karbon.
Sebelumnya Afrika Selatan telah diumumkan sebagai penerima pertama program ini. Negara tersebut menerima pendanaan awal sebesar US$ 8,5 miliar melalui berbagai mekanisme, termasuk hibah, pinjaman lunak, investasi, dan instrumen berbagi risiko.