Menko Marves: Mekanisme Penentuan Harga Karbon akan Dinamis

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.
Sektor transportasi menjadi penghasil emisi karbon monoksida (CO) terbesar di Jakarta mencapai 96,36 persen atau 28.317 ton per tahun disusul pembangkit listrik sebesar 1,76 persen dan industri sebesar 1,25 persen.
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Lavinda
8/9/2023, 17.37 WIB

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menyatakan mekanisme penentuan harga karbon akan dinamis. Artinya, pemerintah akan bersifat fleksibel mengikuti perubahan teknologi dan tren global terkait harga karbon di dalam negeri.

Staf Khusus Menko Marves Edo Mahendra mengatakan peraturan harga karbon di dalam negeri akan gesit dan dinamis. Edo menilai hal tersebut penting untuk memastikan ekosistem penetapan harga karbon mendukung dinamika pasar.

"Jadi aturan harga karbon sekarang tidak langsung sempurna. Jadi, kalau ada yang kurang akan diperbaiki. Kami akan memperbarui peraturan itu terhadap perkembangan dunia," kata Edo kepada Katadata.co.id usai menghadiri Indonesia Sustainability Forum, Jumat (8/9).

Menurut Edo, penetapan harga karbon adalah kunci pembangunan ekonomi rendah karbon di dalam negeri. Dengan demikian, Edo berpendapat hal tersebut akan meningkatkan kompleksitas struktur ekonomi nasional.

Edo menjelaskan struktur ekonomi yang berlaku sejauh ini adalah ekstraktif dan mengekspor bahan mentah. Alhasil, Edo mengatakan ekonomi rendah karbon pada akhirnya dapat mendukung program hilirisasi di dalam negeri.

Di sisi lain, Edo menekankan karbon yang diperdagangkan di dalam negeri berkualitas tinggi. Maka itu, Edo meyakini pembukaan Bursa Karbon pada akhir September 2023 akan membantu pemerintah mencapai target kontribusi pengurangan karbon nasional atau NDC.

Untuk diketahui, pemerintah telah menetapkan NDC pada 2030 sebanyak 31,89% tanpa bantuan internasional. Target tersebut lebih tinggi atau mencapai 43,2% jika mendapatkan bantuan internasional.

Edo mendorong pemangku kepentingan untuk mengartikan perdagangan karbon sebagai bentuk dukungan pemenuhan NDC negara yang membuka pasar karbon. Dengan demikian, Edo berpendapat investasi hijau akan masuk ke pasar karbon.

"Ini bisa membuka potensi semua investasi hijau, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di wilayah lain. Karena semua tau ini bukan greenwashing, tapi membantu pencapaian NDC," kata Edo.

Sebelumnya, Chairman Indonesia Carbon Trading Association (IDCTA) Riza Suarga mengatakan bursa karbon yang akan diterapkan di Indonesia unik karena belum ada contoh suksesnya di tempat lain.

Berbeda dengan pasar wajib atau emission trading system (ETS) seperti di Uni Eropa, Indonesia akan menerapkan pasar sukarela yang teregulasi (regulated voluntary market). Dalam mekanisme ini, Rize menyebut harga pasar karbon akan ditentukan oleh standarisasi yang diterima oleh pasar.  

“Bursa akan membutuhkan likuiditas dan saat ini permintaannya ada di off takers internasional,” katanya, kepada Katadata.

Riza menyebut bursa karbon di Indonesia akan menjadi semacam ‘market place’ untuk kredit karbon sukarela. Selama bursa karbon tidak terlalu banyak diregulasi, ia optimistis harga pasar karbon akan berfluktuasi. Selain itu, ia menyebut penting agar penyelenggara bursa karbon memiliki rekam jejak solid untuk menjamin kepercayaan pasar.

Reporter: Andi M. Arief