Asian Development Bank (ADB) memperkirakan negara-negara berkembang di Asia membutuhkan investasi tahunan US$ 1,7 triliun untuk membangun infrastruktur transmisi menuju nol karbon pada 2030. Pengamat menilai pendanaan akan menjadi tantangan terbesar dalam transmisi menuju nol karbon.
Andhyta Firselly Utami, Peneliti Ekonomi Lingkungan dan Pendiri Think Policy, menilai biaya yang diperlukan untuk proses transisi energi menuju nol emisi sangat besar. Namun, selama ini masalah pendanaan masih dianggap terpisah dari prosek produksi dan konsumsi.
Pengeluaran ini harus dibiayai sedemikian rupa sehingga pendanaan dari hal-hal lain seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan tidak akan teralihkan dan masyarakat tidak merasakan dampaknya. Itu sebabnya, Andhyta menilai sektor jasa keuangan dan perbankan akan memainkan peran penting dalam pendanaan transisi energi.
"Untuk pasar seperti di Asia, di mana lebih dari 50% energinya menggunakan bahan baku batu bara, penting untuk memastikan transisi tersebut adil dan inklusif, dengan mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosial dari transisi yang akan disesuaikan dengan realitas lokal dan kebutuhan pembangunan," ujar Andhyta, pada Rabu (8/11).
Indonesia memiliki potensi besar untuk memimpin pembiayaan berkelanjutan di Asia Tenggara. Dengan komitmen bersama, Indonesia dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang seimbang dengan keberlanjutan sosial dan lingkungan. "Pembiayaan berkelanjutan adalah tentang memberdayakan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka," kata dia.
Perbankan Mulai Gencar Beri Pendanaan Berkelanjutan
Salah satu contoh implementasi pembiayaan berkelanjutan yang berorientasi pada lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) adalah saat PT Bank HSBC Indonesia mengumumkan penyaluran pinjaman berjangka hijau sebesar US$ 20 juta kepada PT Indo-Rama Synthetics, Tbk (INDR). Produsen benang pintal dan polyester terintegrasi ini merupakan anak perusahaan dari Indorama Corporation Pte. Ltd., Singapore (Indorama).
Pinjaman berjangka hijau itu akan digunakan untuk mendukung upaya Indo-Rama mengurangi konsumsi energi melalui instalasi mesin-mesin baru dengan teknologi dan penggunaan energi yang lebih efisien pada perluasan pabrik benang pintal. Pendanaan ini juga akan meningkatkan pencapaian ESG dari Indorama Group secara keseluruhan. Proyek ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi energi sekitar 20%.
Beberapa bank pemerintah maupun swasta kini semakin gencar menyalurkan green financing maupun sustainable financing. PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) menyebut penyaluran green financing hingga Juni 2023 mencapai Rp 115 triliun, naik 10,2% year-on-year (YoY). Wakil Direktur Utama Bank Mandiri menyatakan porsi kredit yang sesuai dengan prinsip ESG itu mencapai 11,7% dari total portofolio kredit perusahaan.
Sementara itu, PT Bank DBS Indonesia hingga Juli 2023 telah menyalurkan pendanaan ke sektor hijau sebesar Rp 4 triliun, tumbuh 253% YoY. PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) juga mencatat penyaluran kredit ke sektor-sektor berkelanjutan telah mencapai Rp 181,2 triliun per Juni 2023. Porsi kredit ke sektor hijau ini mencapai 24,3% terhadap total pembiayaan BCA.