Pemerintah bersama Komisi II DPR bakal membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Salah satu perubahan yang dikabarkan akan ada dalam aturan ini adalah unsur baru dari pegawai ASN, yakni pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) paruh waktu atau part time.
“PPPK dulu hanya satu, sekarang ada dua: full time dan part time,” kata Anggota Komisi II DPR Guspardi Gaus, dilansir dari detikcom, beberapa waktu lalu.
Guspardi menjelaskan PPPK paruh waktu ini tidak bekerja penuh waktu layaknya pegawai negeri sipil dan PPPK penuh waktu. Waktu kerjanya ditentukan seusai dengan kesepakatan. Selanjutnya PPPK paruh waktu ini berstatus ASN, lebih tinggi dari sebelumnya yakni tenaga honorer.
Menurut anggota Fraksi PAN ini, PPPK paruh waktu adalah solusi agar tenaga honorer tidak kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Pemerintah pun untung, karena tidak menambah anggaran untuk belanja pegawai. Sebab, gaji PPPK paruh waktu tidak akan lebih besar dari tenaga honorer yang bakal dihapus per 28 November 2023.
Bermula dari Penghapusan Tenaga Honorer
Melansir laman Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, isu ini muncul usai bengkaknya jumlah tenaga non-ASN. Karena itu, berdasarkan Peraturan pemerintah Nomor 49 Tahun 2018, masa kerja tenaga honorer dibatasi hingga 28 November 2023.
“Awalnya, perkiraan jumlah tenaga non-ASN itu sekitar 400 ribu, ternyata begitu didata ada 2,3 juta dengan mayoritas ada di pemerintah daerah,” kata Deputi Bidang SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Alex Denni dilansir dari laman Kementerian PAN RB.
Secara rinci berdasarkan jabatan, dari 2.355.092 pegawai non-ASN terdapat 731.524 tenaga pendidik, 204.902 tenaga kesehatan, 74.362 penyuluh, 609.255 tenaga tenis dan 735 ribu tenaga administrasi.
Presiden Joko Widodo lalu melarang adanya pemutusan hubungan kerja massal untuk menyelesaikan masalah ini. Salah satu opsi yang ditempuh adalah RUU ASN yang akan menelurkan Peraturan Pemerintah tersebut. “Bagaimana skemanya, itu sedang dibahas.” ucap Alex.
Ia juga menjelaskan pedoman yang digunakan adalah memastikan pendapatan non-ASN tidak berkurang dari yang diterima saat ini. Selain itu, pendapatannya juga memperhitungkan kapasitas fiskal yang dimiliki pemerintah.
Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR Mei lalu, Alex merinci terkait porsi anggaran untuk pegawai honorer hanya bisa senilai 30% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. Padahal, sebanyak 77% tenaga non-ASN ada di daerah.
Perihal APBD dan belanja pegawai ASN daerah ini sudah pernah disinggung Menteri Keuangan Sri Mulyani Mei lalu. Ia mencatat, belanja APBD sudah mencapai Rp 305,62 triliun dari pagu Rp 1.278,15 triliun. Ini tumbuh 6,06% dari periode sama di tahun sebelumnya senilai Rp 288,2 triliun dari pagu Rp 1.200,87 triliun.
Bila ditilik dari jenis belanjanya, pengeluaran didominasi oleh belanja pegawai yang mencapai Rp 141,08 triliun. Angka ini meningkat 3,43% dari periode sama di tahun sebelumnya senilai Rp 136,4 triiliun.
Ada dua hal yang meningkatkan pengeluaran belanja pegawai Mei lalu. Pertama, peningkatan realisasi belanja tambahan penghasilan ASN dan kedua peningkatan realisasi belanja gaji maupun tunjangan ASN, kepala daerah, dan wakil kepala daerah. “Utamanya karena realisasi pembayaran THR,” kata Bendahara Negara.
Data terbaru per Juli 2023 menunjukkan belanja pegawai sudah mencapai angka Rp 192,4 triliun atau setara 45,08% dari pagu Rp 426,79 triliun.
Sejauh ini, RUU tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 5 tahun 2014 yang tersedia di laman resmi DPR adalah versi tahun 2020. Dalam dokumen ini, tidak ada pasal yang menyebutkan penambahan PPPK paruh waktu. Begitu juga dengan UU Nomor 5 Tahun 2014 yang masih menulis pegawai ASN terbagi menjadi PNS dan PPPK.