Jatuh-Bangun Garuda Indonesia Lewati Berbagai Krisis

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi pesawat Garuda Indonesia.
Penulis: Sorta Tobing
14/9/2021, 18.55 WIB

Pandemi Covid-19 terus memukul kinerja PT Garuda Indonesia Tbk. Rugi bersihnya pada semester pertama tahun ini mencapai Rp 12,82 triliun. Angkanya naik 26% dibandingkan periode serupa 2020 yang mencapai Rp 10,17 triliun. 

Minimnya penumpang dan kewajiban membayar biaya sewa pesawat kepada para lessor menjadi biang kerok kerugian tersebut. Garuda baru saja mengalami kekalahan dalam pengadilan arbitrase London, Inggris, melawan gugatan lessor-nya, yaitu Leasing SAS dan Atterisage SAS.

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, pihaknya sedang menjajaki kesepakatan untuk menyelesaikan kewajiban. "Upaya tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kemungkinan penjajakan skema restrukturisasi maupun strategi alternatif penunjang lainnya," katanya, Jumat (10/9).

Kondisi krisis telah berkali-kali Garuda rasakan. Pandemi Covid-19 menjadi yang terburuk.

Penerbangan Perdana Garuda Indonesia

Belanda wajib menyerahkan kekayaan Hindia Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 1949. Hal ini sesuai kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB).

Termasuk dalam kekayaan tersebut adalah maskapai penerbangan KLM-IIB (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij- Inter-Insulair Bedrijf). Perusahaan ini merupakan anak usaha KLM.

Pada Desember 1949, Presiden Soekarno mengganti nama perusahaan itu menjadi Garuda. Ia terinspirasi dari nama burung yang menjadi wahana Dewa Wisnu.  

Penerbangan perdananya adalah Jakarta menuju Yogyakarta. Pesawat berkode maskapai GIA atau GA itu menjemput Soekarno pada saat perpindahan ibu kota dari Kota Gudeg ke Jakarta. 

Ilustrasi pesawat Garuda Indonesia. (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/aww.)

Berbagai Krisis pada Garuda Indonesia

Melansir dari arsip berita Kompas di kompaspedia.kompas.id, Garuda berubah bentuk dari perusahaan negara menjadi persero pada 1975. Ketika itu krisis mulai perusahaan alami.

Pada 1970, Garuda memiliki tunggakan utang sebesar US$ 3 Juta, termasuk dari perusahaan penerbangan swasta sebanyak Rp 200 juta. Pada saat itu armada Garuda hanya terdiri dari 19 pesawat. 

Setahun kemudian, Garuda terpaksa menyesuaikan tarif penerbangan. Hal ini dilakukan akibat masalah pembelanjaan penggantian pesawat Electra dan Dakota yang hendak ditarik.

Awal 1980-an pun tidak terlalu manis untuk Garuda. Maskapai ini mengalami kerugian berturut-turut di merek utama dan dua anak usahanya, PT Merpati Nusantara Airlines dan PT Nusa Dua Hotel. 

Pada 1982 ruginya mencapai Rp 25,6 miliar pada 1982. Lalu, naik menjadi Rp 46,6 miliar pada 1983, Rp 63,3 miliar pada 1984, Rp 130,9 miliar pada 1985, dan Rp 41,8 miliar di tahun 1986. Hingga tahun tersebut, Garuda memiliki hutang jangka pendek sebesar Rp 247,8 miliar dan hutang jangka panjang sebesar Rp 649,5 miliar. 

Di tengah kesulitan tersebut, Garuda memutuskan untuk meningkatkan kualitas produk dan jasanya. Perusahaan memperluas rute penerbangan ke luar negeri, terutama ke Eropa Barat, Jepang, Australia, dan Amerika Serikat (AS). 

Pada 1987, Garuda tercatat sebagai badan usaha milik negara atau BUMN paling rugi dari 47 BUMN yang merugi di tahun tersebut. Garuda rugi Rp 146,8 miliar, yang mendekati separuh dari jumlah rugi 47 BUMN tersebut jika digabungkan.

Memasuki 1988, Garuda mengalami pergantian direktur utama, dengan Moehamad Soeparno mengisi kursi tersebut. Ia menjabat selama empat tahun hingga 1992. 

Di bawah pimpinan Soeparno, Garuda merapikan manajemen keuangannya. Rute penerbangan yang lebih banyak ke AS juga dibuka. Plus, perusahaan juga membuka rute baru ke Kanada, Korea Selatan, dan Selandia Baru. 

Pesawat Garuda Indonesia. (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Perusahaan berhasil mengubah kerugian di tahun sebelumnya menjadi laba yang mencapai Rp 129,57 miliar. Laba tersebut pun konsisten berlanjut pada tahun 1989 dengan Rp 122,27 miliar, dan meningkat menjadi Rp 330,12 pada tahun 1990. Namun, laba menurun kembali ke Rp 239,35 miliar pada tahun berikutnya. 

Penurunan keuntungan terjadi karena Perang Teluk dan perjanjian dengan Singapura yang memungkinkan operasional pesawat Singapore Airlines ke Jakarta. Akibat isu ini Soeparno diberhentikan dari jabatannya. Penerbangan Boeing 747-400 Singapore Airlines diberhentikan di 1992.

Pada 1993, pemerintah memberikan bantuan dana setara Rp 250 miliar sebagai pinjaman. Garuda merugi Rp 182,62 miliar.

Perusahaan mengalami banyak lagi kerugian di tahun-tahun berikutnya. Pada 1996, maskapai tersebut berhutang US$ 754 juta untuk pembelian dua pesawat Boeing 747-400 dan tujuh Boeing 737-400. Pemerintah lagi-lagi memberikan dana talangan.  

Utang tersebut naik menjadi Rp 3,1 triliun di 1997, plus rugi Rp 122,8 miliar. Untuk merevitalisasi bisnisnya, Garuda menjual aset, termasuk enam pesawat Boeing 747-200, satu pesawat Fokker 28, dua hotel di Bali dan Lombok, dan sebagian saham dari anak perusahaan PT Aerowisata Catering Service. 

Di tahun yang sama, Merpati Airlines, yang juga merupakan anak usahanya, Garuda lepas. Ketika itu, Merpati memiliki utang Rp 600 miliar.

Mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Robby Djohan. (syuef.blogspot.co.id)

Garuda di bawah Robby Djohan

Krisis moneter 1997-1998 mengakibatkan Garuda merugi hingga US$ 620 juta setelah AS menutup 16 rute penerbangan internasional. Menteri Pendayagunaan BUMN pada saat itu, Tanri Abeng, menunjuk Robby Djohan menjabat direktur utama Garuda Indonesia. 

Tanri menilai Garuda sebagai perusahaan pelat merah yang harus diprioritaskan. Utang perusahaan mencapai Rp 4,6 triliun dan dapat menyebabkan kolaps.

Almarhum Robby merupakan eks bankir yang pernah berkarier di Citibank dan Bank Niaga. Usai memimpin Garuda, ia lalu menjabat direktur utama Bank Mandiri.  

Robby berhasil menekan angka kerugian Garuda meskipun hanya menjabat jabatan itu selama enam bulan. Ia melakukan restrukturisasi dan meminta penjadwalan ulang utang Garuda yang mencapai ratusan juta dolar AS dari para kreditor global.

Berkat keandalannya ini, ia menerima pujian dan kerap disebut penyelamat maskapai nasional itu dari kebangkrutan. Namun, jumlah modal Garuda masih negatif US$ 234 juta, lantaran adanya beban utang sebesar US$ 1,8 miliar. 

Pemerintah harus menanggung kewajiban utang Garuda sebanyak US$ 62 juta setiap tahunnya hingga 2003. Perusahaan pun terus membayar utang setiap tahunnya hingga 2009.

Mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Garuda di Bawah Emirsyah Satar

Pada 2005, Garuda Indonesia mengangkat Emirsyah Satar sebagai direktur utama. Emir yang pada saat itu berumur 46 tahun menjadi direktur utama termuda dalam penerbangan se-Asia Pasifik. 

Sebelum memegang jabatan itu, Emir bekerja sebagai bankir di Citibank. Ia melakukan transformasi internal, termasuk manajemen organisasi, sistem operasional, dan kepercayaan karyawan internal. Emir pula yang mengenalkan konsep Indonesian Hospitality untuk pelayanan Garuda. 

Pelayanan kabin lalu berubah mencerminkan estetika budaya dan kuliner Indonesia. Di bawah arahannya, Garuda mencapai “World’s best Cabin Crew” selama lima tahun berturut-turut versi Skytrax.

Emir memimpin perusahaan selama sembilan tahun. Ia tidak menuntaskan masa dua periode jabatannya, Pada saat bersamaan, Garuda mencatat kerugian setelah lima tahun untung. Krisis ekonomi global, depresiasi nilai tukar rupiah hingga 20%, dan juga harga bahan bakar yang naik menjadi pemicunya. 

Prestasi mentereng Emir lalu jatuh ketika menjadi tersangka kasus dugaan suap pada 2017. Tiga tahun kemudian hakim mengganjarnya dengan penjara delapan tahun, denda Rp 1 miliar, dan subsider tiga bulan kurungan penjara. 

Emir tersandung kasus pengadaan pesawat dan mesin di Garuda. Ia juga terjerat pasal tindak pidana pencucian uang.

Penyumbang bahan: Amartya Kejora (magang)