Sejarah PPh Indonesia, dari Era Kolonial hingga Reformasi Pajak 1983

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.
Ilustrasi, sejumah wajib pajak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP). SPT Tahunan merupakan sarana pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) bagi wajib pajak orang pribadi.
Penulis: Agung Jatmiko
6/4/2022, 12.45 WIB

Akhir bulan lalu, masyarakat Indonesia telah melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) untuk orang pribadi. Bulan ini, giliran badan usaha yang akan melaporkan SPT PPh badan, dengan tenggat waktu 30 April.

Sesuai namanya, PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi dan badan atas penghasilan yang diperoleh dalam satu tahun pajak. Penghasilan yang dikenakan PPh tidak hanya penghasilan berasal dari gaji saja, melainkan juga dari laba usaha, honorarium, hadiah, dan penghasilan lainnya.

Namun, sistem PPh yang diterapkan saat ini tidak muncul begitu saja. Sistem perpajakan modern atas penghasilan di Indonesia mengalami perjalanan yang sangat panjang.

Sistem perpajakan modern mulai dikenalkan pada jaman penjajahan, di era pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Wilayah yang berada di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda wajib tunduk pada hukum yang berlaku, yakni Staatsblad Van Nederlandsch-Indie.

Berdasarkan hukum tersebut, sejak 1816 dikenal istilah tenement tax atau huistax, yaitu pajak yang dikenakan untuk penduduk yang menggunakan tanah dan bumi sebagai tempat berdirinya bangunan. Untuk ukuran saat itu, pajak mulai diatur secara jelas dengan kemunculan aparat pajak, hingga institusi perpajakan termasuk hingga Majelis Banding Pajak.

Meski demikian, sistem perpajakan awal-awal ini substansinya hampir sama dengan upeti pada masa kerajaan-kerajaan. Pajak dibuat hanya untuk menghimpun dana bagi pemerintah kolonial, yang bertujuan untuk mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya.

Aturan dan sistem perpajakan atas penghasilan secara spesifik baru muncul pada 1920, yang kemudian terus berubah seiring dengan perkembangan zaman.

Mengutip www.forumpajak.org, berikut sejarah pemungutan atas penghasilan atau pendapatan sejak era kolonial.

1. Pajak Penghasilan 1920

Sebelumnya, pengenaan PPh di Hindia Belanda diatur dengan berbagai ketentuan. Misalnya, pajak pribumi yang perlakuan perpajakan dibedakan untuk penduduk Jawa dan Madura. Kemudian, pajak non-pribumi untuk orang-orang Asia dan Eropa. Pengenaan pajak yang diskriminatif ini kemudian dihapus sejak 1920, dengan dikenalkannya Pajak Penghasilan.

Pada cara pemajakan baru ini akhirnya dikenal asas unikasi, yaitu pungutan pajak yang tidak berdasarkan pada kebangsaan. Pajak Penghasilan 1920 berlaku bagi semua penduduk, pribumi maupun non-pribumi. Sistem pajak ini juga berlaku bagi badan usaha.

Selain asas unikasi, Pajak Penghasilan 1920 juga memperkenalkan sistem worldwide income, di mana wajib pajak dalam negeri dikenakan PPh untuk semua penghasilan, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri.

Untuk wajib pajak luar negeri, pajak dikenakan atas penghasilan yang bersumber dari Hindia Belanda. PPh dikenakan atas penghasilan neto, dengan melakukan penaksiran jumlah penghasilan di tahun yang akan datang.

Pajak Penghasilan 1920 juga mengenalkan tarif pajak progresif untuk wajib pajak orang pribadi, mulai 1% hingga 25%. Sementara, tarif PPh untuk perusahaan ditetapkan sebesar 6%.

2. Pajak Perseroan 1925

Jenis pajak ini merupakan hasil reformasi pajak yang dilakukan pemerintah kolonial, melalui Panitia Pajak Perseroan Hindia Belanda. Pajak Perseroan 1925 ini melakukan beberapa perubahan atas ketentuan Pajak Penghasilan 1920.

Beberapa hal yang diubah adalah perseroan dan badan-badan usaha dikenakan pajak tersendiri, dengan tarif sebesar 10%. Pajak Perseroan juga membuka kemungkinan ‘surtax’ setiap waktu dan pajak dikenakan atas laba neto usaha.

Ordonansi Pajak Perseroan ini sebagian besar mengadopsi prinsip akuntansi modern, seperti prinsip taat asas, metode penyusutan dan penilaian aktiva. Ordonansi ini juga memperbaiki prinsip worldwide income, dengan memberi batasan jumlah hari untuk tetap disebut wajib pajak dalam negeri.

Ordonansi Pajak Perseoran 1925 berlaku hingga 1983 dengan beberapa kali perubahan tarif. Perubahan yang masih sempat dipakai adalah pengenaan tarif progresif dari 20% menjadi 45%.

3. Pajak Pendapatan 1932

Ini merupakan hasil reformasi terhadap ketentuan Pajak Penghasilan 1920 untuk wajib pajak orang pribadi. Perubahan yang dilakukan ini menghasilkan ordonansi atau peraturan pemerintah (PP) Pajak Pendapatan 1932.

Dalam ordonansi ini, tidak banyak perubahan perlakuan bagi wajib pajak orang pribadi dibanding dengan Pajak Penghasilan 1920. Namun, ordonansi ini memperkenalkan asas sumber, jangka waktu untuk disebut wajib pajak dan batasan penghasilan tidak kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi.

4. Pajak Upah 1935

Ordonansi Pajak Pendapatan 1932 utamanya mengatur wajib pajak orang pribadi yang memperoleh penghasilan dari berbagai sumber. Pada 1935 Pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai memperkenalkan pajak yang dikenakan atas penghasilan orang pribadi sebagai pegawai penerima upah.

Jenis pajak ini merupakan cikal bakal witholding tax, dengan penentuan pajak diatur berdasarkan ordonansi Pajak Upah 1932. Dalam ordonansi Pajak Upah 1935, penerima penghasilan dipungut pajak oleh pemberi kerja.

5. Pajak Peralihan

Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan, aturan pajak-pajak yang sebelumnya ditetapkan pemerintah kolonial Hindia Belanda tetap berlaku berdasarkan peraturan peralihan UUD 1945.

Namun, pada 1949 ordonansi Pajak Pendapatan 1932 berganti nama menjadi Pajak Perang. Perubahan nama ini dilakukan oleh The Netherlands Indies Civil Administration (NICA) dan berlaku di daerah-daerah yang diduduki NICA. Pajak Perang kemudian diubah lagi menjadi Pajak Peralihan.

Pada dasarnya, sistem Pajak Peralihan ini mengikuti Pajak Pendapatan 1932, dengan beberapa perubahan. Perubahan yang dimaksud ini seperti pembagian sumber penghasilan menjadi empat macam, yaitu penghasilan dari usaha dan pekerjaan, penghasilan dari barang bergerak, penghasilan dari barang tidak bergerak dan penghasilan dari pembayaran atas hak-hak.

Perubahan yang lain adalah pengenaan pajak tidak lagi di awal tahun melainkan di akhir tahun, dengan penerbitan surat ketetapan pajak sementara. Pengenaan pajak dihitung dengan membandingkan pajak tahun sebelumnya. Dari pajak tahun sebelumnya, kemudian ditetapkan pajak untuk tahun berjalan secara sementara.

6. Pajak Pendapatan

Aturan Pajak Pendapatan muncul pada 1957, yang merupakan peleburan dari ketentuan Pajak Bumi, Pajak Peralihan, dan Pajak Upah. Atas terbitnya ketentuan mengenai Pajak Pendapatan, sejak 1957 berlaku dua UU PPh, yakni ordonansi Pajak Perseroan dan ordonansi Pajak Pendapatan.

Ketentuan baru ini memperkenalkan dua mekanisme, yakni membayar pajak sendiri (MPS) dan memungut pajak orang lain (MPO). MPS merupakan cikal bakal sistem self assesment yang berlaku saat ini. Pada sistem ini, wajib pajak melunasi pajaknya selama tahun berjalan dengan cara menghitung sendiri pajak terhutang dan melunasinya ke kas negara.

Dasar pengenaan untuk sistem MPS adalah penerimaan bruto atau jumlah lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Tarif umum yang ditetapkan sebesar 1%, Namun, tarif MPS bukan merupakan tarif final. Artinya, pembayaran pajak dapat diperhitungkan pada saat pelaporan pajak untuk seluruh tahun pajak. Selain tarif umum, MPS juga mengenakan tarif lain sesuai dengan jenis usaha wajib pajak.

Sementara, MPO adalah mekanisme pembayaran atas Pajak Upah, dengan tarif sebesar 2% dari peredaran. Pemerintah menunjuk perusahaan dan kantor pemerintah sebagai wajib pungut MPO atas semua transaksi yang dilakukan.

Sistem MPO juga mengenalkan witholding tax atas deviden, yang kemudian diperluas menjadi pajak atas bunga, deviden dan royalti. Pajak atas pendapatan dari bunga, deviden dan royalti ini bersifat final.

Perubahan penting lainnya yang muncul dengan dikenalkannya Pajak Pendapatan adalah, mulai terlihat ketentuan yang bersifat mengatur. Di masa ini, mulai muncul berbagai macam tarif pajak untuk perseroan. Sementara, Pajak Penghasilan menjadi pajak schedular, yaitu pajak yang dikenakan tergantung dengan jenis pendapatan yang diperoleh.

Ketentuan mengenai Pajak Pendapatan ini terus digunakan hingga 31 Desember 1983, yakni ketika pemerintah memutuskan melakukan reformasi perpajakan.

Reformasi Pajak 1983

Reformasi pajak 1983 merupakan upaya mengubah berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku sebelumnya. Upaya ini mencoba menjawab tuntutan dan kebutuhan tentang perlunya seperangkat aturan perpajakan secara fundamental.

Secara spesifik, aturan yang dimaksud harus berlandaskan pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang menjunjung hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat di bidang kenegaraan.

Reformasi pajak 1983 menghasilkan UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). UU ini merupakan peraturan perundang-undangan pertama di Indonesia yang mengatur tentang Pajak Penghasilan setelah Indonesia merdeka.

Kemunculan UU yang secara khusus mengatur tentang penghasilan ini berangkat dari pemikiran perlunya mengatur PPh, yang merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang berasal dari rakyat. Pemerintah saat itu menilai, perlu adanya UU khusus yang dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan kehidupan dalam sebuah negara demokrasi.

UU PPh ini mengatur materi pengenaan pajak yang pada dasarnya menyangkut subjek pajak, obyek pajak dan tarif pajak dengan pengenaan yang merata, serta pembebanan yang adil. Sementara, tata cara pemungutan diatur dalam UU tersendiri, untuk mewujudkan keseragaman, sehingga mempermudah masyarakat untuk mempelajari, memahami dan mematuhinya.

Dalam perjalanannya, UU ini mengalami beberapa kali perubahan selama masa pemerintahan Orde Baru, antara lain:

1. UU Nomor 7 tahun 1991

UU 7/1991 menyoroti tentang semangat pemerataan kesempatan berusaha, dengan memberikan insentif perpajakan kepada bentuk usaha tertentu, seperti perusahaan reksa dana (investment fund), dan modal ventura

Selain itu, UU ini juga mengenalkan bentuk insentif berupa perlakuan perpajakan atas imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan tertentu. Ini dimaksudkan untuk menarik orang bekerja di daerah terpencil.

Selain itu, untuk meningkatkan penanaman modal di daerah terpencil, diberikan kemudahan berupa keluwesan menggunakan metode penyusutan dan amortisasi. Harapannya, hal ini bisa menarik minat penanam modal untuk berinvestasi di daerah terpencil, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesempatan kerja di daerah yang dimaksud.

2. UU Nomor 10 tahun 1994

Secara garis besar undang-undang ini menyempurnakan UU sebelumnya, di mana terdapat enam pasal yang mengalami perubahan. Namun, tarif PPh tidak mengalami perubahan.

Tujuan utama UU 10/1994 adalah penguatan fungsi pajak sebagai pengatur. Hal ini terlihat dari tujuan perubahan, seperti menuju kemandirian bangsa, dan menunjang kebijakan pemerintah untuk pemerataan pembangunan.

Pada dasarnya, tujuan umum keluarnya UU 10/1994 adalah menggerakkan sektor ekonomi dan bisnis secara makro. Selain itu, UU ini juga untuk meningkatkan pelayanan pajak pada masyarakat, di antaranya menyederhanakan prosedur perpajakan dan peningkatan pengawasan serta penegakan hukum
yang berlaku.

Pokok-pokok perubahannya sebagian besar mengatur ketentuan subjek dan objek pajak. Hal lain yang juga banyak dirubah adalah, mengenai tata cara administrasi dan sistem penghitungan pajak.

Secara umum, reformasi perpajakan yang menghasilkan UU Nomor 83 tahun 1983 atau UU PPh menjadi dasar hukum atas pengenaan pajak atas pendapatan orang pribadi dan badan. UU ini menjadi landasan atas pembuatan aturan PPh hingga pasca-reformasi 1998.