Melacak Jejak Fisik Oeang Republik Indonesia, Berawal dari Pabrik Kopi

Koleksi Museum Bank Indonesia, www.bi.go.id
Ilustrasi, Oeang Republik Indonesia (ORI), mata uang pertama yang dicetak oleh pemerintah Republik Indonesia.
Penulis: Agung Jatmiko
14/6/2022, 05.21 WIB

Pada masa Revolusi Kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia yang baru merdeka menghadapi kesukaran di bidang ekonomi, khususnya moneter. Saat itu, mata uang yang beredar adalah uang bentukan pemerintahan pendudukan Jepang, yakni Dai Nippon Teikoku Seihu, atau kerap disebut rupiah Jepang dan uang peninggalan Hindia Belanda, De Javasche Bank (DJB).

Pasca-proklamasi kemerdekaan, pemerintah sudah memikirkan pentingnya memiliki mata uang sendiri. Sebab, keberadaan mata uang yang memiliki identitas asli RI merupakan lambang kedaulatan, dan menjadi instrumen pemersatu bangsa.

Didorong Ancaman Uang NICA

Meski demikian, sulit bagi pemerintah saat itu untuk membuat mata uang sendiri. Kesukaran muncul mulai dari sulitnya mencari bahan baku, hingga mencari percetakan. Upaya mencetak uang di Surabaya gagal. Begitu juga di Jakarta.

Padahal, kebutuhan untuk mencetak uang tersebut tergolong mendesak. Pasalnya, Indonesia menghadapi ancaman kembalinya Belanda, yang datang membonceng tentara sekutu. Ancaman ini tidak hanya hadir dalam bentuk konfrontasi militer, melainkan juga mata uang untuk mendelegitimasi kedaulatan Republik Indonesia.

Ancaman mata uang yang dimaksud, berwujud uang bentukan Netherlands Indies Civil Administration (NICA), yang kerap disebut uang NICA atau "Uang Merah". Penyebutan ini dikarenakan warna dominan uang ini adalah merah.

Imbauan dari pemerintah yang dikeluarkan pada 2 Oktober 1945, agar masyarakat tidak menerima uang bawaan NICA, tidak efektif dalam jangka pendek. Sebab, Belanda langsung memperoleh akses kantor-kantor bank Jepang pada 10 Oktober 1945.

Bank bentukan Jepang ini kemudian ditutup, dan Belanda menghidupan kembali DJB yang bertugas sebagai bank sirkulasi. Pada 6 Maret 1946, Belanda secara resmi mulai mengedarkan dan menetapkan Uang Merah sebagai alat pembayaran yang sah di daerah-daerah pendudukan.

Cepatnya gerak Belanda mengedarkan "Uang Merah" ditanggapi oleh pemerintah Indonesia dengan mempercepat percetakan uang asli Indonesia. Upaya ini menghasilkan Oeang Republik Indonesia (ORI).

Namun, seperti disebutkan sebelumnya, pencetakan ORI tergolong sulit di masa Revolusi Kemerdekaan, terutama terkait tempat pencetakannya. Hal ini dikarenakan, Indonesia saat itu belum memiliki percetakan uang sendiri.

Diselamatkan Pabrik Kopi

Di tengah sulitnya mencari tempat percetakan ORI, pemerintah diselamatkan oleh keberadaan pabrik besar nan canggih yang berada di Jawa Timur. Uniknya, pabrik yang akhirnya menjadi tempat pertama kali ORI dicetak, bukanlah pabrik percetakan uang, melainkan pabrik kopi.

Pabrik kopi yang menjadi penyelamat tersebut adalah, Nederlandsch-Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken atau NIMEF. Pabrik ini berlokasi di Kendalpayak, Malang, Jawa Timur.

NIMEF didirikan pada 1901 oleh L. Schol dan H. Janssen van Raay, yang berfungsi sebagai pabrik sangrai kopi. Dalam perjalannya, NIMEF menjelma menjadi pabrik manufaktur skala besar, yang tak hanya bergerak di bidang sangrai kopi, melainkan juga memproduksi kemasan kertas dan kaleng.

Selain itu, NIMEF juga memproduksi beragam kotak karton, mulai dari kotak amplop hingga kotak obat. Mengutip Media Keuangan Edisi Oktober 2020, pabrik ini juga memproduksi beragam kebutuhan, seperti buku kantor, kartu nama, hingga tiket untuk trem, kereta api dan karcis bioskop.

Aset yang dimiliki NIMEF tergolong yang tercanggih di Indonesia pada saat itu. Pabrik ini dilengkapi dengan mesin cetak perunggu, serta mesin pengepres kecepatan tinggi yang digerakkan secara elektrik. Beberapa mesin ini didatangkan langsung dari Eropa, ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda.

Saat Jepang menginvasi Hindia Belanda, pabrik NIMEF dimanfaatkan sebagai tempat pembuatan bahan peledak. Meski demikian, fungsi-fungsi produksi lain, tetap dipertahankan.

Setelah Indonesia merdeka, pabrik NIMEF di Kendalpayak, Malang, digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk mencetak ORI. Namanya kemudian diubah oleh Menteri Keuangan RI saat itu, A.A. Maramis, menjadi Pabrik Kaleng dan Percetakan Negara (PKPN) Kendalpayak. Namun, masyarakat masih menyebutnya sebagai NIMEF.

Selain memiliki fasilitas yang memadai, lokasi NIMEF juga sangat pas untuk mencetak uang pertama Republik Indonesia. Pasalnya, lokasinya jauh dari medan-medan pertempuran yang sedang berkobar di berbagai kota. Wilayah ini juga dikuasai oleh pemerintah Indonesia.

Gerak Cepat Pencetakan ORI

Setelah NIMEF ditunjuk sebagai tempat untuk mencetak uang, Panitia Penyelenggara Percetakan Uang Kertas Republik Indonesa segera mencari bahan-bahan. Kebutuhan kertas dibantu oleh Serikat Buruh Kertas Padalarang. Kemudian, mesin pembuat kertas berhasil dibawa dari pabrik Padalarang sebelum dikuasai tentara Belanda.

Sementara, bahan-bahan kimia didatangkan dari Jakarta dan dari laboratorium pabrik-pabrik gula di Jawa Timur. Dengan bahan yang tersedia dan mesin-mesin percetakan NIMEF, uang pertama milik Indonesia pun berhasil diproduksi.

Tak hanya pabrik yang berada di Malang, pencetakan ORI juga dilakukan di pabrik NIMEF yang berlokasi di Solo dan Yogyakarta. Ketiga fasilitas ini pun mendapat penjagaan yang sangat ketat, demi memuluskan upaya percetakan ORI.

Untuk mengedarkan ORI, uang dimasukkan ke dalam besek, lalu dimasukkan lagi ke karung goni dan diangkut dengan kereta api ke seluruh Jawa. Maka, pada 30 Oktober 1946, sebagai tanggal emisi pertama ORI. Tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Uang.

Jika dilihat dari garis waktunya, pencetakan ORI ini tergolong cepat, dari pertama kali dikonsepkan hingga pengedarannya. Hanya butuh waktu kurang lebih tujuh bulan, dari saat Belanda menetapkan uang NICA sebagai alat pembayaran, hingga kemunculan ORI. Cepatnya pemerintah Republik Indonesia memproduksi dan mengedarkan ORI ini, salah satunya berkat keberadaan NIMEF.

Sayangnya, pencetakan ORI di NIMEF hanya berlangsung dua tahun setelah Indonesia merdeka. Perannya sebagai fasilitas pencetak uang harus berhenti, karena pada 21 Juli 1947 Belanda melancarkan Agresi Militer I.

Pabrik NIMEF di Malang bahkan terpaksa dibumihanguskan, untuk mencegah jatuhnya aset tersebut ke tangan Belanda. Sementara, semua uang yang sudah tercetak, dan barang-barang berharga lainnya diungsikan ke Yogyakarta dengan pengawalan yang ketat.