ASEAN juga berdiri saat sebagian besar dunia sedang terbelah ke dalam dua kubu di tengah Perang Dingin. Vietnam pada saat itu masih terlibat dalam perang yang berkaitan dengan ketegangan antara Uni Soviet dan Amerika Serikat.

Ketika berpidato pada penandatanganan Deklarasi ASEAN, Adam Malik mengatakan Indonesia memiliki visi bahwa Asia Tenggara akan berkembang menjadi “sebuah kawasan yang bisa berdiri sendiri (dan) cukup kuat untuk bertahan melawan pengaruh negatif dari luar kawasan.”

Pada 1976, Indonesia menjadi tuan rumah untuk KTT ASEAN yang pertama di Bali. Pada pertemuan ini, negara-negara anggota menandatangani perjanjian untuk hidup berdampingan yang disebut Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Ini menandai institusionalisasi ASEAN.

ASEAN kemudian menjadi lebih besar pada 1980-an dan 1990-an. Brunei Darussalam menjadi anggota tambahan pertama yang bergabung pada 1984. Vietnam bergabung pada 1995, enam tahun usai Perang Dingin berakhir secara simbolis.

Laos dan Myanmar kemudian bergabung pada 1997, ketika krisis finansial Asia sedang melanda kawasan. Kamboja bergabung pada 1999, meskipun telah mengajukan untuk bergabung dua tahun sebelumnya. ASEAN sempat menolak keanggotaan Kamboja karena terjadi kudeta di negara tersebut.

Pada 2022, ASEAN mencatat sejarah baru dengan aksesi Timor Leste yang secara resmi dideklarasikan pada KTT di Phnom Penh, Kamboja. Ini mengakhiri proses yang telah dimulai sejak 2002.

Di sela-sela pencapaiannya, krisis-krisis baik internal maupun yang melibatkan non-anggota ikut mewarnai sejarah ASEAN. Ketegangan di Laut Cina Selatan telah memaksa para negara anggota untuk memikirkan kembali soal sentralitas ASEAN.

Sementara itu, krisis pengungsi Rohingya yang meletup pada 2017 mendorong ASEAN untuk mempertimbangkan ulang prinsip non-intervensi yang telah lama mendasari hubungan antarnegara anggota.

Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN, Indonesia telah mengambil peran lebih dari sekadar pendiri. Para pengambil kebijakan dan pengamat menganggap Indonesia sebagai pemimpin de facto atau primus inter pares dari organisasi regional ini. Kepemimpinan pada 2023 akan memberikan kesempatan untuk Indonesia memenuhi ekspektasi tersebut.

Halaman:
Reporter: Dzulfiqar Fathur Rahman