Konflik lahan di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, masih terus terjadi. Presiden Joko Widodo mengatakan masalah ini terjadi karena komunikasi yang kurang baik.
Badan Pengusahaan (BP) Batam seharusnya mengajak bicara dan memberi solusi kepada warga setempat terkait rencana pembangunan proyek Rempang Eco City. “Di sana sebenarnya sudah ada kesempatan, warga diberi lahan 500 meter plus bangunan tipe 45 tapi tidak dikomunikasikan dengan baik,” kata Jokowi, Selasa (12/9).
Melihat kondisi tersebut, Jokowi memerintahkan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia untuk turun ke lokasi. Bahlil akan memberikan penjelasan kepada masyarakat terkait pelaksanaan proyek tersebut.
Rencana pengosongan lahan di Pulau Rempang sejak pekan lalu memicu konflik antara aparat keamanan dan warga lokal. Rencana relokasi mendapat penolakan karena berdampak pada 7.500 warga setempat. Proyek tersebut dianggap mengancam eksistensi 16 kampung adat Melayu yang sudah ada sejak 1834.
Ribuan orang pada awal pekan ini kembali menggelar aksi unjuk rasa. Pada minggu lalu aksi serupa juga terjadi dan memicu bentrok. Massa terlihat emosi dan menghancurkan pagar dan kaca kantor BP Batam.Kepala Kepolisian Resor Kota Barelang Komisaris Besar Nugroho Nuryanto mengatakan pihaknya telah mengamankan 43 orang.
Para pelaku diduga melakukan kekerasan terhadap petugas keamanan dan perusakan. “Sebanyak 28 orang diamankan Polresta Barelang, sedangkan 15 orang lainnya di Polda Kepri,” ucap Nugroho.
Apa Itu Proyek Rempang Eco City?
Rempang Eco City merupakan salah satu Program Strategis Nasional 2023. Keputusan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 yang disahkan pada 28 Agustus lalu.
PT Makmur Elok Graha akan pengembangan proyek kawasan industri, perdagangan, hingga wisata terintegrasi tersebut. Harapannya, kehadiran eco city dapat menaikkan daya saing Batam dengan Singapura dan Malaysia.
Makmur Elok Graha alias MEG mendapat mandat menarik investor asing dan lokal dalam pengembangannya. Target investasinya mencapai Rp 381 triliun dan menyerap 306 ribu tenaga kerja hingga 2080. Alokasi lahan untuk perusahaan mencapai 17 ribu hektare yang mencakup Pulau Rempang dan Pulau Subang Mas.
Sebagai informasi, MEG merupakan anak usaha Grup Artha Graha milik taipan Tomy Winata. Dalam buku terbitan Pusat Data dan Analisis Tempo berjudul Jejak Bisnis Tommy Winata di Setiap Pemerintahan tertulis, nota kesepahaman (MoU) antara pemerintah kota Batam, Badan Otoritas Batam, dan MEG ditandatangani pada 26 Agustus 2004.
Berdasarkan perjanjian itu, MEG mendapat hak eksklusif atas pengelolaan dan pengembangan kawasan wisata terpadu di Pulau Rempang. Perusahaan mendapat sertifikat hak guna bangunan atas Pulau Rempang seluas 16.583 hektare. Selain itu, MEG juga meraih kawasan penyangganya, yaitu Pulau Setoko dan Pulau Galang eks hunian pengungsi Vietnam, masing-masing sekitar 300 hektare.
Hak guna bangunan itu berlaku 30 tahun dan dapat diperpanjang hingga 20 tahun dan diperbarui 30 tahun lagi. Jadi, totalnya mencapai 80 tahun. Dalam perjanjian itu, pemerintah Batam menjamin tak memberikan izin kawasan wisata baru kepada pihak lain. Kalaupun berganti penguasa, dijamin tidak ada perubahan kebijakan.
Gara-gara kesepakatan ini, Tomy Winata sempat dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Pihak yang mengaku sebagai pegawai negeri sipil Batam menduga proyek ini merugikan negara Rp 3,6 triliun karena memberikan gratis HGB atas lahan sekitar 17 ribu hektare.
Tomy Winata mengaku tak ambil pusing dengan aduan itu. “Biarin sajalah,” ucapnya kepada TEMPO, Juli 2007. Dirinya hanya diundang ke Batam pada 2002 dan diminta membangunnya menjadi kawasan megapolitan yang berhadapan dengan Singapura. Setelah melewati proses seleksi selama setahun, MEG ditunjuk sebagai calon partner.
Kerja Sama dengan Cina
Produsen kaca asal Cina, Xinyi Glass Holdings Ltd, masuk menjadi investor pertama Rempang Eco City. Komitmen investasinya mencapai US$ 11,6 miliar atau sekitar Rp 175 triliun.
Perjanjian kerja sama tersebut telah berlangsung pada 18 Juli 2023. Menteri Bahli mengatakan investasi itu akan untuk membangun ekosistem industri kaca dan panel surya.
CEO Xinyi Glass Holdings Tung Chiang Sai mengatakan pihaknya memperhatikan pembangunan infrastruktur di Batam. “Batam sangat maju dan berkembang di Indonesia. Banyak perusahaan Cina tertarik,” ucapnya.
Rencananya, Xinyi akan membangun fasilitas hilirisasi pasir kuarsa atau pasir silika di Pulau Rempang. Perusahaan merupakan salah satu produsen kaca terbesar di dunia. Produknya banyak dipakai untuk sektor otomotif, konstruksi, dan energi. Xinyi Group juga merupakan pemain utama dunia dalam pembuatan solar panel.