Saham-saham sektor farmasi dan alat kesehatan sempat menjadi primadona sepanjang pandemi Covid-19 tahun lalu. Namun, setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) memulai program vaksinasi pada 13 januari 2021, saham-saham ini malah kompak mengalami koreksi. Memasuki Februari 2021, saham sektor tersebut kembali bergairah.
Perusahaan alat kesehatan PT Itama Ranoraya Tbk (IRRA) sejak awal Februari 2021 ini menjadi emiten dengan kenaikan harga saham yang paling signifikan. Sejak awal bulan hingga penutupan perdagangan 22 Februari 2021, saham berkode emiten IRRA tersebut sudah naik 39,78% menjadi Rp 2.530 per saham.
Padahal, sejak 13 Januari 2021 hingga akhir perdagangan bulan tersebut, saham IRRA mengalami penurunan harga hingga 51,08% ke level harga Rp 1.810. Hampir setiap hari perdagangan, sahamnya ditutup turun hampir 7% atau menyentuh batasan auto rejection bawah (ARB).
Penurunan 7% hampir setiap hari juga terjadi pada saham PT Kimia Farma Tbk (KAEF) pada periode awal program vaksinasi. Saham Kimia Farma pun sepanjang periode hingga akhir Januari 2021 turun hingga 55,27% menjadi Rp 3.120 per saham.
Memasuki Februari 2021, saham Kimia Farma kembali menunjukkan taringnya. Harga saham perusahaan farmasi milik pemerintah itu, hingga penutupan perdagangan 22 Februari 2021, sahamnya telah naik 18,59% menjadi Rp 3.700 per saham.
Sorotan lain juga tertuju pada saham PT Indofarma Tbk (INAF) yang sejak 13 Januari hingga 29 Januari tahun ini sahamnya turun hingga 56,99%. Namun, setelah itu secara kumulatif harganya menguat 14% menjadi Rp 3.420 per saham pada 22 Februari 2021.
Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta Utama mengatakan kenaikan harga saham farmasi dan alat kesehatan pada bulan ini dipengaruhi program vaksinasi yang terus berjalan. "Dinamika vaksinasi massal sebagai game changer dalam meningkatkan kinerja pertumbuhan ekonomi nasional, merupakan katalis utama bagi emiten-emiten farmasi," katanya kepada Katadata.co.id, Senin (22/2).
Nafan pun menilai, di antara beberapa emiten di sektor farmasi dan alat kesehatan, saham PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) masih menjadi favorit. Alasannya, saham Kalbe cukup likuid dengan kepemilikan publik yang mencapai 43%. Selain itu, saham ini memiliki nilai kapitalisasi pasar yang besar dan rekam jejak yang baik dalam pembagian dividen.
Sepanjang periode 13 Januari hingga akhir Januari, Kalbe Farma menjadi emiten yang penurunan harga sahamnya paling kecil, hanya 12,8% menjadi Rp 1.465 per saham. Sama seperti sektor farmasi lain, saham Kalbe Farma juga menguat bulan ini, meski kenaikannya paling kecil, hanya 7,17% ke level harga Rp 1.570 pada 22 Februari 2021.
Tim analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia memprediksi kinerja Kalbe Farma pada tahun ini akan mengalami pertumbuhan. Menurut analisisnya, laba bersih Kalbe Farma bisa mencapai Rp 2,8 triliun tahun ini yang tumbuh sekitar 6,9% secara tahunan.
Direktur Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan pergerakan harga saham perusahaan farmasi dan alat kesehatan tak hanya dipengaruhi program vaksinasi. Buktinya, sejak program vaksinasi dijalankan, saham-saham sektor tersebut malah rontok.
"Ini kan bukan hanya vaksin semata. Penurunan sejak pertengahan Januari disebabkan kenaikan saham sektor farmasi sudah terlampau tidak masuk akal sebelumnya," kata Nico kepada Katadata.co.id, Senin (22/2).
Sebut saja saham Itama Ranoraya yang dalam periode 3 hingga 12 Januari 2021 mengalami kenaikan hingga 131,25% menjadi Rp 3.700. Kemudian saham Indofarma yang naik 73,08% menjadi Rp 6.975 dan Kimia Farma yang naik 64,12% menjadi Rp 6.975.
Menurutnya, ketiga harga saham jauh dari harga fundamentalnya. Hal ini tentunya akan membuat harga saham tersebut akan kembali lagi ke harga fundamentalnya. "Ketika harga melanglang buana, harganya pasti kembali. Ini menjadi salah satu perhatian pelaku pasar dan investor," kata Nico, tanpa menyebutkan bagaimana fundamentalnya.
Harga saham sektor farmasi dan alat kesehatan yang kembali naik pada Februari 2021, belum mencerminkan harga saham fundamentalnya. Kondisi fundamental perusahaan perlu dilihat dari laporan keuangan 2020 yang belum banyak dirilis oleh emiten sektor ini.