Pasca Aksi Jumbo Bukalapak & BRI, Bisakah Investor Serap IPO Mitratel?

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.
Karyawan melintas di bawah layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (20/5/2020).
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Lavinda
26/10/2021, 20.19 WIB

Pasar modal Tanah Air baru saja kedatangan dua aksi korporasi dengan nilai jumbo. Keduanya antara lain, penawaran perdana saham (IPO) PT Bukalapak.com Tbk dengan nilai Rp 21,9 triliun, dan penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (rights issue) PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk sebesar Rp 95,9 triliun.

Kedua aksi korporasi tersebut mencetak rekor nilai tertinggi di masing-masing kategori. Pencatatan keduanya pun dilakukan dalam waktu berdekatan, IPO Bukalapak pada 6 Agustus 2021, sedangkan rights issue BRI pada 29 September 2021.

IPO Bukalapak mendapatkan kelebihan permintaan (oversubscribed) hingga 8,7 kali. Rights issue BRI juga mendapatkan kelebihan permintaan 1,53%.

Rekor Bukalapak sepertinya tidak bertahan lama karena berpotensi dipecahkan oleh IPO PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel). Anak usaha PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk ini menargetkan raihan dana hingga 24,9 triliun, dengan target melantai di bursa saham pada 22 November 2021.

Berdasarkan prospektus singkat, perusahaan penyedia jasa menara telekomunikasi ini menawarkan maksimal 25,54 miliar saham perdana atau 29,85% dari modal perusahaan setelah penawaran umum perdana saham. Mitratel menetapkan harga penawaran antara harga Rp 775 - Rp 975 per saham.

Apakah investor ritel maupun institusi mampu menyerap dana di tengah ramainya aksi korporasi bernilai jumbo ini?

Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan terdapat sejumlah hal yang menjadi pertimbangan penting bagi pasar dalam merespons seluruh aktivitas pasar modal, termasuk IPO.

Seperti indikator pasar modal masih dinilai positif bila ditinjau dari jumlah perusahaan tercatat yang melakukan pencarian dana. "Pertumbuhan jumlah investor maupun IHSG juga mengalami perkembangan yang relatif baik dibandingkan tahun lalu," kata Nyoman kepada awak media, Selasa (26/10).

Selain itu, stabilitas ekonomi, pemulihan ekonomi, sentimen positif pada perkembangan ekonomi global maupun domestik, serta dukungan regulator-regulator terkait, dinilai menimbulkan kepercayaan dan optimisme bagi para pelaku pasar modal.

Analis Kiwoom Sekuritas Sukarno Alatas yakin pelaku pasar masih mampu menyerap IPO jumbo Mitratel karena potensi investor yang sangat tinggi seiring peningkatan jumlah investor di bursa saham Indonesia. "Investor bisa menyerap meskipun sebelumnya ada IPO jumbo dan rights issue dari BRI yang besar," katanya.

Ketertarikan investor juga datang dari prospek saham perusahaan menara yang bagus ke depannya seiring dengan perkembangan teknologi. Pendapatan perusahaan menara juga dinilai stabil karena punya kontrak sewa menara dengan usia panjang.

Nilai IPO Terbesar

Seperti diketahui, hingga saat ini jumlah IPO di pasar modal tercatat hanya 39 emiten. Jumlahnya lebih rendah dibanding tiga tahun terakhir pada periode yang sama. Meski begitu, nilai dari IPO tahun ini mencapai Rp 32,22 triliun, tertinggi setidaknya sejak 2018.

Tingginya nilai IPO tahun ini didorong oleh IPO jumbo Bukalapak. Di luar itu, sejumlah saham punya nilai yang tak besar. Seperti IPO PT Archi Indonesia Tbk (ARCI) bernilai Rp 2,79 triliun, PT Cemindo Gemilang Tbk (CMNT) senilai Rp 1,16 triliun, dan PT FAP Agri Tbk (FAPA) senilai Rp 1 triliun.

Dari sisi jumlah investor ritel, jumlah investor saham mencapai 2,9 juta orang berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) per September 2021. Jumlah investor pasar saham tersebut tumbuh 71,59% dibandingkan jumlah investor per akhir 22020.

Peningkatan jumlah investor pasar saham tersebut juga mendongkrak total nilai aset pelaku pasar saham. Per September 2021 nilai asetnya mencapai Rp 5.258 triliun atau meningkat 19,78% dibandingkan akhir 2020 Rp 4.390 triliun. Kepemilikan investor lokal terhadap aset tersebut makin bertambah. Per September mencapai 58,42% dibandingkan 2020 sebesar 26,85%.

Peningkatan jumlah investor ritel di Indonesia berdampak langsung pada peningkatan aktivitas perdagangan. Rata-rata nilai transaksi harian sejak awal tahun hingga 26 Oktober 2021 mencapai Rp 13,51 triliun dengan volume rata-rata harian 19,93 miliar. Frekuensi rata-rata per hari mencapai 1,29 juta kali.

Dibandingkan dengan rata-rata nilai transaksi harian sepanjang 2020 hanya Rp 9,21 triliun dengan volume transaksi 11,37 miliar unit saham. Sementara itu, frekuensi transaksi dalam sehari rata-ratanya 677.430 kali.

Nyoman melanjutkan, pada prinsipnya, Bursa menyambut baik setiap pihak yang akan melakukan pencarian dana di pasar modal. Keputusan untuk melakukan pencarian dana, diserahkan kepada masing-masing perusahaan.

"Kami berkomitmen untuk menjadikan Bursa Efek Indonesia sebagai house of growth (rumah pertumbuhan) bagi seluruh karakteristik perusahaan-perusahaan potensial di Indonesia dengan menjadi Bursa yang adaptif dan kompetitif," kata Nyoman.

Reporter: Ihya Ulum Aldin