Bursa Efek Indonesia (BEI) mulai menerapkan aturan menutup kode broker pada hari ini, Senin (6/12). Aksi tersebut bertujuan agar transaksi dilakukan dengan wajar dan efisien, serta berdasarkan analisis, bukan hanya tren sesaat.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Laksono Widodo mengatakan, peraturan ini telah diusulkan sejak 2019 dan mulai dilakukan studi kelayakannya pada tahun yang sama.
"Tujuan utamanya adalah untuk membuat pasar lebih wajar dan efisien. Analisa ini sudah dilakukan cukup lama dan disampaikan ke pelaku pasar, terutama ke Otoritas Jasa Keuangan," kata Laksono dalam konferensi pers virtual, Senin (6/12).
Selain itu, BEI juga melakukan perbandingan studi kasus dengan pasar lain secara global, termasuk di regional Asia. Sebelum BEI menutup kode broker hari ini, hanya ada dua pasar yang masih membuka kode broker, yakni Indonesia dan Filipina.
Setidaknya ada lima tujuan dari penutupan kode broker. Pertama, sesuai dengan standar yang dilakukan mayoritas pasar di dunia. Kedua, meningkatkan tata kelola pasar dengan mencegah praktik perilaku menggiring (herding behaviour) dan transaksi saham lebih cepat (front running).
Ketiga, melindungi investor domestik dari tekanan aksi jual maupun beli investor asing. Keempat, meningkatkan kewajaran harga dan mengarahkan investor untuk melakukan riset sebelum mengambil keputusan investasi dengan menggunakan analisis fundamental dan teknikal saat transaksi di pasar. Kelima, memahami risiko dan imbal hasil dalam berinvestasi pada saham tertentu
Laksono mengatakan, meskipun kode broker ditutup, pelaku pasar masih dapat melihat data-data perdagangan harian ketika masa perdagangan selesai. Data yang dapat dilihat antara lain, data transaksi bursa, data statistik, rangkuman tipe investor, rangkuman broker, data transaksi harian, dan data olahan dari perusahaan sekuritas.
Sebelumnya, Laksono mengatakan, penutupan kode broker juga mengurangi kebutuhan bandwidth data yang menyebabkan latency atau keterlambatan dalam aktivitas perdagangan dikarenakan meningkatnya frekuensi transaksi pada tahun ini.
"Kalau frekuensi transaksi masih rendah, tidak terlalu masalah. Tapi kalau frekuensi transaksi naik, mulai terasa bebannya. Kami harus ambil best practices yang ada di bursa-bursa lain," kata Laksono.
Beberapa investor menolak kebijakan ini dengan alasan penutupan informasi kode broker dan domisili investor secara selama masa perdagangan berlangsung setara dengan secara paksa menutup mata para trader dalam jual-beli saham. Analisis secara bandarmology dengan cara melihat kode broker dan tipe investor terutama saat jam bursa dinilai mempunyai peran penting.
Direktur Utama BEI periode 1991-1996, Hasan Zein Mahmud pun merespons kebijakan direksi bursa tersebut. Ia berada di barisan yang keberatan terhadap rencana BEI tersebut, meski secara pribadi Hasan melakukan investasi tanpa pernah melihat kode broker, menganalisis secara teknikal, ataupun melalui bandarmology.
Kebijakan ini dinilai bisa menurunkan kualitas transparansi dan kesetaraan level pelaku pasar saham. Bagi para trader, informasi broker sangat relevan dan sensitif untuk pengambilan keputusan membeli atau menjual saham.
Alasan lainnya, menurut Hasan, herding behavior yang ingin dihindari oleh Direksi Bursa saat ini, bisa dikurangi bila buzzers, pom-pom, atau influencers ditampilkan di depan publik. "Dibuat aturan, tata cara, dan kode etik. Diatur dan diminta registrasi," kata Hasan.