Nilai tukar dolar AS pada perdagangan akhir-akhir ini menguat dan menekan rupiah hingga ke level Rp 15.700-an.
Nilai tukar rupiah di pasar spot saat ini hampir menjadi yang terendah sejak November 2022. Rupiah masih tertekan oleh sentimen perang Israel dengan Hamas Palestina. Kekhawatiran pasar memicu investor untuk beralih dari aset berisiko menuju aset yang lebih aman seperti dolar AS.
Fenomena ini diperkuat dengan sentimen potensi kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, The Federal Reserve.
Pengamat Pasar Uang Ariston Tjendra mengatakan, ekspektasi suku bunga tinggi ini masih menjadi pendorong utama. Pelaku pasar masih mengonfirmasi isu ini dengan data inflasi terbaru AS, hasil rapat moneter The Fed dan komentar-komentar petinggi Bank Sentral.
Data inflasi AS yang dirilis terakhir di bulan lalu yaitu data bulan Agustus masih menunjukkan rebound kenaikan inflasi AS sehingga ekspektasi kebijakan suku bunga tinggi masih bertahan.
“Nanti malam dan besok malam akan dirilis data inflasi bulan September AS. Dini hari nanti ada rilis notulen rapat kebijakan moneter AS. Hasil dari data-data tersebut bisa mengubah ekspektasi ataupun memperkuat ekspektasi kebijakan suku bunga tinggi AS,” kata Ariston kepada Katadata.co.id, Rabu (11/10).
Bank sentral AS masih menyisakan dua rapat moneter tahun ini dan pelaku pasar pastinya akan mencermati hasilnya. Alhasil ada potensi pelemahan bisa terjadi sampai akhir tahun ini. Bila ekspektasi pasar mengenai kebijakan suku bunga tinggi masih bertahan hingga rapat The Fed bulan Desember nanti.
Berdampak ke pasar saham, emiten di sektor farmasi, konsumer, dan emiten dengan utang dolar akan mendapat perhatian lebih atas pelemahan rupiah.
Dikutip dari Emtrade, Rabu (11/10) Sektor farmasi merupakan salah satu sektor yang sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah. Apalagi lebih dari 50% bahan baku yang digunakan oleh perusahaan farmasi masih harus diimpor.
Perusahaan yang beroperasi di sektor besi dan baja juga rentan terhadap dampak pelemahan rupiah. Sebagian besar bahan baku yang digunakan dalam industri besi dan baja harus diimpor, dan pelemahan rupiah dapat membuat biaya impor semakin tinggi. Ini bisa mengurangi profitabilitas perusahaan, terutama jika harga jual produk tetap stabil.
Selain itu sektor konsumer berdampak negatif terhadap fluktuasi nilai tukar karena volume impor yang signifikan yang harus mereka tanggung. Selain itu, harga gandum di pasar dunia yang meningkat akibat konflik Rusia-Ukraina dapat memberikan tekanan tambahan pada kinerja keuangan perusahaan-perusahaan tersebut.
“Penting untuk dicatat bahwa Indonesia adalah negara dengan iklim tropis, sehingga tidak dapat menghasilkan gandum secara optimal. Oleh karena itu, perusahaan perlu mengimpor gandum dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan roti, mie instan, dan produk pangan karbohidrat lainnya,” tulisnya.
Beberapa perusahaan yang memiliki keterkaitan dengan penggunaan gandum sebagai bahan baku produksi adalah PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), produsen mie instan Indomie PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), dan PT Mayora Indah Tbk (MYOR) dengan produk unggulan seperti roti dan mie instan.
Selanjutnya ada sektor konstruksi yang terdampak negatif dalam beberapa aspek. Biaya bahan bangunan menjadi lebih tinggi karena banyak bahan seperti baja, semen, dan peralatan konstruksi harus diimpor atau terkait dengan harga komoditas global.
Pelemahan rupiah juga dapat membatasi kemampuan pemerintah untuk mendanai proyek infrastruktur besar-besaran, yang biasanya menjadi salah satu penggerak utama di sektor konstruksi.
Nilai tukar rupiah yang lesu juga menjadi faktor negatif perusahaan-perusahaan yang memiliki utang yang utamanya berdenominasi dalam mata uang dolar AS. Hal ini tidak hanya mencakup satu spesifik sektor, tapi bisa jadi banyak sektor seperti konsumer, telekomunikasi, properti dan otomotif.
Sebab itu berarti nilai pokok utang dan bunganya akan meningkat secara otomatis. Akibatnya, perusahaan akan mengalami penurunan pendapatan karena kerugian kurs yang terjadi.