Inflasi AS Mulai Mereda, Bitcoin Bisa ke US$ 38.000 di Akhir Pekan?

123rf.com/traviswolfe
Ilustrasi bitcoin, crytocurrency, mata uang kripto
17/11/2023, 13.58 WIB

Harga Bitcoin (BTC) rebound pada Kamis (16/11) kemarin, setelah terkoreksi selama dua hari terakhir yang mendorong harganya ke kisaran US$ 34.500 atau senilai Rp 534 juta. Saat ini, BTC memiliki target untuk menutup minggu ini dengan harga mencapai level US$ 38.000 atau sekitar Rp 591 juta.

Mengutip data Coinmarketcap, Jumat (17/11) pukul 13.53 WIB, harga BTC tengah berada di US$ 36.422 atau melemah 2,9% dibandingkan satu hari sebelumnya.

Meskipun ada hambatan di tingkat makro ekonomi, Trader Tokocrypto Fyqieh Fachrur memprediksi harga Bitcoin akan terus meningkat. Hal ini didukung oleh data inflasi dan penjualan ritel AS yang baru-baru ini dirilis. Artinya secara signifikan mendukung argumen bahwa siklus pengetatan kebijakan The Fed telah mencapai puncaknya dan siklus penurunan suku bunga mungkin akan segera dimulai.

Indeks harga konsumen (CPI) AS hanya 3,2% year on year di bulan Oktober, turun dari 3,7% pada September. Sementara, indeks harga produsen (PPI) untuk bulan Oktober hanya 1,3%, turun dari 2,2% pada bulan sebelumnya dan jauh di bawah perkiraan 1,9%. Sedangkan PPI Inti turun ke tingkat tahunan sebesar 2,4% dari 2,7%.

Fyqieh menyebut, mendinginnya inflasi dapat mendukung Bitcoin dalam jangka pendek karena beberapa pelaku pasar mungkin bersedia mengambil lebih banyak risiko. Ketika inflasi turun, mata uang tradisional cenderung lebih stabil nilainya. Hal ini dapat mengurangi daya tarik investasi dalam aset seperti obligasi dan tabungan. 

“Dalam situasi ini, beberapa investor mungkin mencari alternatif yang lebih potensial untuk pertumbuhan modal dan Bitcoin dapat menjadi salah satu pilihan mereka," kata Fyqieh dalam keterangan resmi dikutip Jumat (17/11). 

Selain penurunan inflasi, beberapa orang melihat Bitcoin sebagai bentuk perlindungan terhadap potensi depresiasi mata uang tradisional yang sering terkait dengan ketidakpastian ekonomi akibat inflasi yang tinggi. Fyqieh menyebut Bitcoin dikenal karena sifatnya yang terdesentralisasi dan keterbatasan pasokannya. Dengan demikian, hal itu dianggap sebagai alat lindung nilai potensial terhadap fluktuasi nilai mata uang konvensional.

Di samping itu, harapan akan disetujuinya Exchange Traded Fund (ETF) Bitcoin spot di Amerika Serikat masih tinggi, menjadi salah satu faktor yang membuat investor tetap tertarik untuk terus mengumpulkan aset ini. Meskipun terjadi penurunan harga jangka pendek pada Bitcoin.

Hingga saat ini, lanjut Fyqieh, Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika (SEC) belum memberikan persetujuan untuk ETF Bitcoin spot tersebut. Waktu yang tersedia untuk persetujuan ini berlangsung sampai hari ini Jumat (17/11). Jika SEC memutuskan untuk melanjutkan kebijakan penundaan persetujuan ETF, jendela waktu tersebut akan diperpanjang hingga 10 Januari 2024.

Fyqieh mengatakan, para investor merespons dengan melakukan pembelian Bitcoin secara bertahap, didorong oleh keyakinan yang kuat dari pasar dan minimnya koreksi harga. Dalam periode singkat, harga Bitcoin berhasil naik dari sekitar US$ 34.000 atau sekitar Rp 526 juta, menjadi US$ 38.000 senilai Rp 588 juta. 

“Kepercayaan investor terhadap sentimen positif terkait ETF masih cenderung bullish," jelas Fyqieh.

Reporter: Nur Hana Putri Nabila