Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah mempersiapkan layanan intraday short selling (IDSS) yang direncanakan dapat meluncur pada kuartal pertama 2025. Layanan ini diharapkan dapat meningkatkan likuiditas pasar dan mendukung proses penentuan harga yang lebih akurat atau fair price discovery.

Short selling adalah transaksi penjualan efek yang tidak dimiliki oleh penjual saat transaksi dilakukan. Strategi ini memanfaatkan kondisi pasar yang sedang turun (bearish) untuk menjual efek di harga tinggi dan membelinya kembali di harga yang lebih rendah. Transaksi ini memiliki risiko tinggi sehingga lebih cocok dilakukan oleh investor yang sudah berpengalaman. 

Implementasi transaksi short selling merupakan bagian dari strategi BEI untuk mengadopsi praktik umum yang diterapkan di bursa regional. Layanan ini sekaligus membuka peluang lebih luas bagi pelaku pasar untuk memanfaatkan fluktuasi harga. Bursa Efek Indonesia memiliki dua jenis short selling, yakni intraday short selling (IDSS) dan reguler short selling. Lalu apa perbedaannya?

Perbedaan Intraday Short Selling dan Reguler Short Selling

Direktur Pengembangan BEI, Jeffrey Hendrik, mengatakan intraday short selling (IDSS) adalah jenis transaksi short selling yang harus diselesaikan pada hari bursa yang sama. Dalam transaksi ini, investor menjual saham yang sebenarnya belum dimiliki dengan harapan harganya akan turun. Alhasil, mereka bisa membeli kembali saham tersebut di harga yang lebih rendah untuk mendapatkan keuntungan.

Jeffrey juga menyebut IDSS memungkinkan pelaku pasar mengambil posisi lebih efisien tanpa perlu menggunakan mekanisme pinjam-meminjam efek (PME). “Ini membuat proses penyelesaian menjadi lebih cepat dan mudah,” ujar Jeffrey dalam keterangan tertulis, Senin (14/10).

Selain itu, Jeffrey menjelaskan perbedaan utama antara IDSS dan short selling reguler terletak pada penyelesaian posisinya. Dalam short selling reguler, posisi dapat diselesaikan lebih dari satu hari bursa dan membutuhkan mekanisme Pinjam Meminjam Efek (PME) untuk penyelesaian transaksi di T+2. Pada IDSS, posisi short harus ditutup pada hari yang sama agar tidak menimbulkan kewajiban serah pada T+2.

Selain menawarkan efisiensi, BEI melihat IDSS sebagai cara untuk meningkatkan likuiditas pasar serta memberi peluang bagi pelaku pasar untuk meraup keuntungan saat pasar sedang bearish. Jeffrey juga menilai IDSS memberikan kesempatan bagi investor untuk melakukan transaksi dua arah, yang tidak hanya membantu meningkatkan likuidita, tetapi juga mencegah terbentuknya bubble akibat kenaikan harga yang tidak wajar.

“Implementasi IDSS ini diharapkan dapat mengurangi bid-ask spread di pasar, sehingga menciptakan pengalaman bertransaksi yang lebih nyaman bagi investor," ujarnya. 

Manajemen Risiko Khusus untuk Short Selling

Tak hanya itu, Jeffrey menyebut persiapan untuk implementasi IDSS telah berlangsung sejak BEI menerapkan Peraturan Nomor II-H tentang Persyaratan dan Perdagangan Efek dalam Transaksi Margin dan Transaksi Short Selling, serta Peraturan Nomor III-I tentang Keanggotaan Margin dan/atau Short Selling pada 3 Oktober 2024. Selain itu, BEI juga telah menyiapkan skema manajemen risiko khusus untuk transaksi short selling.

“Adapun pembatasan-pembatasan atas transaksi short selling ini akan segera BEI rilis untuk memberikan waktu kepada calon AB short selling menyesuaikan dengan manajemen risikonya,” ujarnya.

Jeffrey juga mengungkapkan bahwa BEI telah merespons kekhawatiran dari investor syariah terkait rencana penerapan IDSS dengan tidak memasukkan saham syariah ke dalam daftar efek yang bisa ditransaksikan secara short selling. Ia menilai langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan investor syariah untuk berinvestasi sesuai dengan strategi masing-masing karena efek syariah dipisahkan dari transaksi short selling.


“Saat ini BEI fokus pada tahapan implementasi short selling di BEI sembari melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala untuk kebutuhan continous improvement,” pungkasnya.

Reporter: Nur Hana Putri Nabila