Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih menunggu proposal dari Rapat Umum Anggota (RUA) AJB Bumiputera 1912 terkait upaya penyelesaian masalah di perusahaan asuransi itu. AJB Bumiputera sudah lama terbelit persoalan likuiditas.
"Kami masih menunggu final proposalnya. Karena beberapa kali mengajukan, kami melihat kesinambungan ke depan belum bisa dipahami dan diyakini dengan baik," kata Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Riswinandi di Jakarta, Kamis (16/1).
Meski begitu, ia menegaskan bahwa pengurus perusahaan harus menyelesaikan masalah likuiditas. Sedangkan OJK berperan mengawasi upaya penyelesaian perkara itu, sesuai dengan peraturan. Salah satunya, mengevaluasi proposal rencana bisnis AJB Bumiputera ke depan.
Terlebih lagi, Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama yang diteken pada 26 Desember 2019. Peraturan itu menaungi bisnis asuransi mutual seperti AJB Bumiputera, yang merupakan satu-satunya di Indonesia.
(Baca: OJK: Pengaduan Asuransi Didominasi Nasabah Jiwasraya dan Bumiputera)
Melalui aturan itu, pemerintah mengubah istilah perwakilan pemegang polis, dari Badan Perwakilan Anggota (BPA) menjadi RUA. Mereka juga merupakan pemegang saham Bumiputera.
Aturan itu menyebutkan, peserta RUA harus berjumlah ganjil, paling sedikit 11 orang dan maksimal 15. Hal yang berbeda dari aturan sebelumnya, RUA tidak boleh diisi oleh pengurus partai politik, anggota legislatif, kepala atau wakil kepala daerah.
Riswinandi optimistis, aturan itu dapat memperbaiki posisi regulator dalam mengawasi perusahaan asuransi mutual. Salah satunya, memantau rapat umum. "Siapa saja anggotanya? Bagaimana proses pemilihannya?" katanya.
Dengan begitu, menurut dia pengawasan OJK terhadap asuransi bersama menjadi lebih baik ke depan. Pengurus perusahaan juga harus mendapat persetujuan regulator sebelum mengambil kebijakan.
“Semoga, prinsip-prinsip bisnis yang wajar dapat diimplementasikan,” kata Riswinandi. (Baca: Tak Punya Dirut Definitif, DPR Batal Bahas Klaim Macet AJB Bumiputera)
Pasal 99 PP tersebut menyebutkan, Bumiputera bisa mengubah bentuk badan hukum menjadi perseroan terbatas (PT) ataupun koperasi. Perubahan itu hanya bisa diusulkan oleh lebih dari setengah peserta RUA, Dewan Komisaris atau Direksi.
Riswinandi menilai, perubahan bentuk badan usaha bisa menjadi salah satu opsi untuk menjaga kepentingan pemegang polis secara berkesinambungan. Namun, tentunya harus disetujui oleh pihak-pihak terkait sebagaimana tercantum dalam aturan.
Jika ingin mengubah badan hukum perusahaan, setidaknya harus mencantumkan informasi terkait penanam modal di dalam proposal. Walaupun, Riswinandi mengaku belum tahu perihal ada tidaknya pihak yang tertarik menanamkan modal di perusahaan asuransi itu.
"Inisiatifnya kan harus dari mereka (Bumiputera). Pokoknya mereka harus datang dengan satu proposal yang bisa memberikan kebaikan ke depan," katanya.
Adapun AJB Bumiputera terbelit masalah likuiditas. Mengacu pada hitung-hitungan yang dilansir pengelola statuter AJB Bumiputera pada akhir 2016, defisit keuangan perusahaan sekitar Rp 2,1 triliun-Rp 2,5 triliun per tahun selama 2017-2021.
Salah satu cara untuk menutup defisit yakni menjual aset-aset yang dimiliki. Setelah pengelola statuter beralih ke direksi anyar, mereka menerapkan strategi baru guna mendukung bisnis perusahaan ke depan.
(Baca: OJK Didorong Segera Selesaikan Masalah Bumiputera dan Jiwasraya)