Suara Resah Peserta BPJS Kesehatan jika Iuran Kelas I Naik 100%

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi. Pemerintah mengusulkan kenaikan iuran peserta mandiri BPJS Kesehatan hingga dua kali lipat. Iuran peserta kelas I diusulkan naik menjadi Rp 160 ribu.
Penulis: Agustiyanti
29/8/2019, 15.03 WIB

Ari Riyanto, 27, merasakan betul manfaat BPJS Kesehatan. Ia pernah dioperasi hingga butuh perawatan sampai tiga pekan di rumah sakit dan tertolong oleh asuransi negara itu.

Kala itu, pegawai swasta di wilayah Jakarta ini  menggunakan layanan BPJS Kesehatan seperti yang difasilitasi kantornya. Saat berpindah kantor yang belum bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, ia memutuskan untuk meneruskan kepesertaan secara mandiri.

"Saya bayar BPJS untuk enam orang. Tiga orang keluarga inti. Saya, istri, dan anak membayar iuran kelas satu. Kemudian tiga orang anggota keluarga lainnya iuran kelas dua," kata Ari kepada Katadata.co.id, Kamis (29/8).

Setiap bulan ia merogoh kocek sekitar Rp 400 ribu untuk membayar iuran keenam anggota keluarganya. Namun dengan rencana kenaikan iuran yang diusulkan Menteri keuangan Sri Mulyani, ia berarti harus merogoh kocek mencapai Rp 800 ribu setiap bulan.

"Sebenarnya saya maklum jika iuran BPJS naik. Naik Rp 20 ribu mungkin masih bisa ditoleransi, tapi kalau dua kali lipat tentu berat. Lebih baik turun kelas layanan saja, kelas satu ke kelas dua," ujarnya.

Senada, Sari juga mengaku ingin turun kelas layanan jika iuran BPJS Kesehatan naik hingga dua kali lipat. Saat ini, perempuan 30 tahun beserta dua anaknya itu terdaftar sebagai peserta mandiri BPJS Kesehatan untuk layanan kelas satu. Kepesertaannya berbeda dengan sang suami yang mendapat fasilitas BPJS Kesehatan dari kantornya, lantaran faskes yang diperoleh jauh dari kediamannya.

"Suami dapat faskes di Jakarta. Saya dan anak-anak buat BPJS Mandiri supaya bisa dapat faskes di Bekasi, karena pindah faskes ribet. Kalau iuran naik dua kali lipat, mungkin turun ke kelas dua atau kelas tiga saja karena ada asuransi yang lain juga," terang dia.

Hingga kini ia baru sekali menggunakan fasilitas rawat jalan, yakni untuk layanan gigi. Dia dan keluarganya belum pernah menggunakan fasilitas rawat inap, apalagi untuk anak-anaknya karena lebih ribet, sehingga lebih sering membayar mandiri.

(Baca: Iuran BPJS Kesehatan Bakal Naik, YLKI Usul Hapus Kelas Layanan)

Semula, Sari merasa tak masalah membayar iuran BPJS Kesehatan kendati jarang memanfaatkannya. Hitung-hitung ikut gotong royong membantu sesama. Namun ia kecewa dengan pengelolaan BPJS Kesehatan. "Semula bahkan ingin keluar dari kepesertaan mandiri karena subsidi ke orang tak mampu enggak terasa, dan tak menggunakan juga. Tapi enggak bisa (keluar dari kepesertaan)," kata dia.

Ia menceritakan salah satu kenalannya yang memiliki delapan anggota keluarga dan penghasilan di bawah Rp 2 juta. Tak seluruh anggota keluarganya memperoleh bantuan iuran BPJS Kesehatan. Hanya satu anggota keluarga yang dianggap berhak menerima.

Sementara ada orang lain yang dianggap mampu justru memperoleh bantuan iuran. "Selain itu ada juga kenalan yang mau operasi, antri hingga berbulan-bulan," ungkap dia.

(Baca: BPJS Watch Usul Kenaikan Iuran Peserta Mandiri JKN Maksimal Rp 6.000)

Ia pun berharap pengelolaan BPJS Kesehatan dapat lebih baik agar iuran yang dibayarkannya tak terasa sia-sia meski tak ia gunakan secara pribadi. Jika kualitas layanan sudah membaik, ia mengaku tak keberatan jika harus membayar iuran seperti yang diusulkan Sri Mulyani.

Aziza, 31, juga mengaku sebenarnya keberatan dengan kanikan iuran yang diusulkan pemerintah hingga dua kali lipat. Ia juga mengaku tak paham alasan pemerintah menaikkan iuran.

Meski demikian, ibu rumah tangga ini mengaku mau tak mau tetap akan membayarkan iuran karena khawatir suatu saat membutuhkan. Selain itu, ia juga berharap iuran yang dibayarkan bisa turut membantu orang yang memang membutuhkan.

"Keberatan sebenarnya. Tapi kemungkinan tetap akan bayar dan jadi peserta karena mungkin masih membutuhkan," jelas dia.